Sabtu, 22 Desember 2018

SYURGA DUNIAKU

Hujan lebat mengguyur perjalananku
Saat ku putuskan menerjang malam ditemani sang hitam
Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo saksi gemercik air membasahi
Kantuk, Lelah dan Penat mulai menguasai
Namun air hujan tak membiarkan itu terjadi

Bentar yang padat kendaraan mengantri
Seorang Bapak terjatuh dari sepeda motor
Beberapa jirigen BBM nampak berhambur di jalanan licin dan berlumpur
Ya, karena pengendara kecil seperti kami tak lepas dari diskriminasi badan besar roda empat yang egois
Banyak lewat dan hanya melihat
Akupun tak kuat hanya menatap
Kuputuskan menghentikan sang hitam dan berbuat.

Roda sang hitam terus menyusuri tepi yang tak kenal sepi
Sampai terhenyak pandangan menatap
Tersaji Roda dua yang tersayat selepas dimangsa pelari cepat beroda empat
Mataku memburu siapa pengendali yang terlibat
Mataku tertegun menatap sesosok jasad tergeletak
Kembang kempis nafas terlepas
Hanya harap semoga masih ada esok yang didapat
Paiton berdarah

Di belahan bumi negeri
Anak Krakatau bererupsi
Mengukir longsor di bawah air
Lautpun bergejolak disambut sang Ombak
Seakan siap bergelut merenggut
Pesisir Banten dan Lampung hanyut dari surut
Tsunami kembali mengguncang ibu pertiwi
Airmata pecah ke setiap tepi
Jeritan dan kehilangan kembali tercabik
Perih dan pedih...


Baru kemarin Ucapan selamat hari ibu disampaikan
Bahagia dengan tawa dilepaskan
Kisah kasih sayang terurai menguap
Menjadi curahan hujan cinta antara Ibunda dan sang anak
Rona bahagia terpancar dalam dekapan keluarga 

Namun
Ketika malam tiba
Tsunami tak diundang datang menerjang kebahagiaan
Tawa dan senyum itu seketika hilang
Menjelma ketakutan dan kecemasan mencekam

Selayak manusia beriman dan bangsa yang beradab
Doa dan uluran tangan yang diharap
Bukan penghakiman, cibiran atau tuduhan atas apa yang terjadi
Karena hanya akan menyakiti tidak mengobati apalagi memperbaiki

Jangan kita tambahkan garam di atas luka yang menganga
Karena itu hanya akan menambah sakit dan perih yang dirasa.
Bagaimana jika hal serupa menimpa pada IBU kita, AYAH Kita, ANAK kita, KELUARGA kita dan orang yang kita cintai?

Tidak pernah tau kapan maut datang
Dalam keadaan bagaimana kita akan pulang
Hanya amal ibadah, kebaikan dan ketaatan dalam kenyakinan membawa pahala pada-Nya
Bukan dengan pamer paling takwa
Ataupun rupa fisik belaka
Melainkan perilaku nyata
Menjaga bibir dalam berbicara
Jari dalam bersosial media
Dan Tindakan kepada sesama
Berimankah kita?

MEREKA SAUDARA KITA DAN INI INDONESIA, RUMAH KITA BERSAMA
JANGAN KITA HANCURKAN DENGAN PENGHAKIMAN BUTA DAN PERPECAHAN SESAMA


IBU TERCINTA 
AYAH TERSAYANG
KELUARGA BAHAGIA
NAFAS DALAM NYAWA
DAN BANGSA YANG MENGHARGAI SERTA SALING MENGHORMATI SESAMA
ADALAH SYURGA DUNIAKU DAN DUNIA KITA

#HappyMotherDay
#SelamatHariIbu
#PrayForBanten
#PrayForLampung
#PrayForIndonesia
#IndonesiaBangkit
#IndonesiaKuat
#saveNKRI
#NKRIHARGAMATI
#MujibAdventures
#mujiburrohman

Senin, 17 Desember 2018

SELF



Oleh Mujiburrohman

Kalamu hadir dalam alpaku
Rasa yang tersimpan dalam sembilu
Tak mampu daya beradu
Karenanya bayangan semu
.
Asa itu pergi datang kembali
Riak menyeruak dalam bait hati
Diri yang aku sendiri tak mengerti
Apakah diri adalah aku?
.
Buih di ruang luas terus menyeru
Mengejar berkejaran lepas buas
Apa dan bagaimana diri seharusnya nampak dan bergerak
Seakan diri tak lagi dirinya sendiri
.
Haruskah diri berkamuflase hati
Atau diri berdiri tegak di atas pribadi yang hakiki?
.
Paiton, 16 Desember 2018
.
#mujiburrohman #MujibAdventures  


Sabtu, 24 November 2018

GURU (BUKAN) PAHLAWAN TANPA TANDA JASA?


Masihkah relevan sebuah slogan yang menyebutkan "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa" atau mungkin masih banyak diantara kita misintrepretasi slogan ini. 


Sebelumnya apa yang kita pahami arti seorang guru? 

Sederhananya guru adalah seorang pengajar yang mentransfer ilmunya kepada anak didiknya. Namun ada juga yang mendefinisikan bahwa guru itu "digugu lan ditiru" (dipercaya dan diikuti). 

Faktanya dewasa ini tidak semua guru dapat dipercaya dan ditauladani. Tidak sedikit guru yang cacat moral dan spiritual seiring dengan perkembangan zaman, teknologi dan informasi dimana guru kita dengan mudahnya terekspos pada hal negatif di dunia maya yang dapat membentuk pribadinya. Karena tidak hanya anak didik kita yang "vulnerable" atas perkembangan zaman, termasuk juga guru didalamnya. 

Tidak semua yang menjadi guru karena atas dasar panggilan hati dan jiwanya. 

Berdasarkan konteks yang saya pahami guru terbagi menjadi tiga dilihat dari perspektif umum dan agama:

1. Teacher as A Job
Karena saat ini pekerjaan guru cukup menjanjikan dengan segala fasilitas dan penghasilan yang diperoleh (PNS), walaupun tidak sedikit guru swasta yang masih 'struggling' dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya yang lebih besar dari penghasilan yang didapat (hidup standard rata-rata). Namun disini banyak ditemukan guru yang belum kompeten dan terpanggil bahwa guru adalah keinginan hatinya, bisa jadi karena tidak ada pilihan lain yang bisa dikerjakan. Akhirnya menjadi guru adalah pilihan yang tidak diinginkan. Sangat disayangkan jika ini terjadi.

2. Teacher as A Profession
Guru sebagai profesi yang saya maksud adalah guru profesional. Mengajar dengan kemampuan dan keahlian dalam bidang yang dia ajarkan. Pada fase ini guru sudah kompeten mengajar bidang yang diampu. Oleh karenanya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang sebelumnya dinamakan PLPG.

Pada posisi ini guru sudah dikategorikan baik dan profesional dalam mengajar namun sekedar mengajar profesional belum dengan hati, sekedar menyampaikan ilmu dan pengalaman yang dimiliki (Just teach not educate). 

3. Teacher as A Passion
Menjadi Guru karena Passion akan membentuk kepribadian guru yang baik karena selain setiap guru berusaha menjadi seorang profesional juga akan ikut andil dalam mendidik anak-didiknya menjadi orang yang lebih baik. Guru ini akan senantiasa meng-upgrade kompetensi diri dan mendidik semua anak didiknya dengan ketauladanan. Guru yang inspiratif dan profesional. 

Dalam perspektif atau kacamata Islam yang saya pahami, guru memiliki tiga dimensi fungsi:

1. Sebagai seorang Mu'allim  Seorang Mu'allim lebih berkonsentrasi kepada ilmu akal. Hanya sebatas "Transfer of Knowledge". Guru sekedar mengajarkan apa yang dia ketahui. Tidak jarang kita mendengar para guru berkata "Yang penting saya mengajar, masalah dia nakal saya tidak begitu peduli, karena kalau saya tindak (hukuman fisik) dampak nya negatif pada diri saya". 

2. Sebagai seorang Murabbi
Seorang Murabbi mengacu kepada pendidik yang tidak hanya mengajarkan suatu ilmu tetapi dalam waktu yang sama mencoba mendidik rohani, jasmani, fisik, dan mental anak didiknya untuk menghayati dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.

Murabbi berkonsentrasi pada penghayatan suatu ilmu, sekaligus membentuk kepribadian, sikap dan kebiasaan anak didiknya atau kita sebut "transfer of values". Jadi, tugas "Muallim" banyak melayang di "akal" namun tugas Murabbi melayang di "hati". Sehingga selalu berusaha mencari cara untuk mendidik anak-anak nya

3. Sebagai Seorang Mujahid
Dalam Islam, istilah Mujahid diartikan sebagai seorang Pejuang yang berperang di jalan Allah. Seorang guru juga seorang Mujahid yang berjuang memberantas kebodohan dan kebobrokan akhlaq generasi masa depan yang jauh lebih berbahaya dari pada perang fisik.

Sehingga guru harus berjuang sungguh-sungguh dalam mengajarkan hal positif pada anak didiknya karena inilah perjuangan sesungguhnya untuk membangun peradaban bangsa dengan diiringi doa tulus ikhlas untuk kesuksesan anak didiknya di setiap doa yang dipanjatkan. 

Oleh karenanya di Pesantren ilmu tidak sekedar diajarkan namun dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui ketauladanan para Kyai dan Ustadz serta Ustadzah.

Jika disebutkan bahwa Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, menurut saya tidak tepat, karena torehan prestasi bangsa ini adalah buah hasil tanda jasa para guru. Tanda jasa mereka tidak sekedar benda fisik melainkan benda hidup yang selalu berevolusi memberikan kontribusi untuk negeri ini.

Selamat Hari Guru (HGN) 2018
Selamat menjalankan tugas Mulia
Salam perjuangan


Paiton, 25 Nopember 2018
MJB

Renungan Maulid Nabi Muhammad SAW




Ya Nabi
Keselamatan atas engkau
Wahai sang utusan
Keselamatan atas engkau
Wahai sang kekasih Allah
Keselamatan atas engkau

Aku tertunduk malu atas kesombongan diri
Yang lalai dan lelah mengikuti jejakmu
Acapkali merasa berat dan penat
Tak jarang merasa hebat dan kuat
Atas apa yang Dia titipkan
Hanya sekedar titipan!

Harga diri dibeli demi sebuah citra diri
Haus akan Jabatan dan kekuasaan
Yang hakekatnya hanyalah fatamorgana
Kami berlomba mengejar dunia!

Ya Nabi
Engkau terpuji bukan karena duniawi
Engkau disegani bukan karena gengsi
Engkau hadir membawa tauladan
Al-Amin gelar yang disematkan

Ya Nabi
Engkau maksum namun tak lepas mohon ampun
Engkau tak ujub tak pernah berhenti sujud
Kami yang tak seberapa bahkan bermandi dosa
Seringkali menunda bahkan lupa akan-Nya
Akan perintah-Nya
Akan larangan-Nya

Betapa ringannya kami melangkah untuk kemaksiatan
Sangat berat untuk kemaslahatan serta kebaikan
Siapakah sebenarnya kami?
Manusiakah?
Atau sekedar kamuflase?

Kami malu ya Rosul
Di tengah semua menyembah dunia
Engkau berdoa "Miskinkan hamba"
Saat semua terlena akan harta
Engkau ajarkan selalu mengingat asma-Nya
Kami lagi-lagi lupa!
Manusiakah?

Ya Nabi
Entah bagaimana kami akan diampuni
Ya Habiballah
Ya Muhammad

Engkau, Muhammad, menunjukkan kepada kami kepatuhan, kesetiaan, hak dan kebenaran

Engkau mengajarkan belas kasih, hati nurani, keadilan, kebajikan dan kesabaran

Tidak pernah permasalahkan perbedaan dengan toleransi dalam teladan kehidupan

Perilaku nyata yang engkau sajikan
Bukan pencitraan untuk sebuah pengakuan
Karena Engkau diturunkan untuk menyempurnakan tidak sekedar mengajarkan

Ya, akhlaq, budi pekerti
Kami bahagia atas lahirmu yang memberikan syafaat untuk keselamatan

لَوْلَاكَ لَمَا خَلَقْتُ الْأَفْلَاك
(-Laulaka lama kholaqtul Aflak-) 

Jika engkau tidak ada, Aku tidak akan mmenciptaka alam semesta -  Hadis Qudsi

Semoga engkau tidak pernah membiarkan kami menyimpang dari jalanmu dan dari sunnahmu walau sesaat

Allahumma sholat 'ala sayyidina Muhammad

Peci identitas santri,
Jangan lupakan Jati diri.
Karena karya santri,
Membangun Negeri.

12 Robiul Awal Tahun Gajah

MJB


Rabu, 07 November 2018

LAILY FITRY : ISLAM YANG MALAS


"Islam yang Malas"
by Laily Fitry 
Ini thread berisi renungan saya tentang ekspresi keislaman Indonesia akhir-akhir ini. Terutama menyangkut kasus bendera hitam & kematian PMI Tuti Tursilawati di tangan Saudi Arabia.
Apa itu Islam yang Malas/Islam Pemalas? Islam Pemalas adalah cara ber-Islam yang dilakukan oleh sebagian Muslim dg berlandaskan kepada garis perbedaan konfliktual antara 'kita' & 'mereka'. Terdapat beberapa ciri-ciri Islam Pemalas, diantaranya:
1. Ekspresi keIslaman yang hanya ditampakkan dalam praktek fiqh saja, namun melupakan praktek etisnya. Contoh, memelihara janggut dengan alasan sunnah namun kendor dalam menyuarakan keadilan sosial bagi semua.
2. Ekspresi keIslaman yang hanya muncul dalam simbolisasi namun absen dalam pembangunan makna yang substantif. Contoh, 'hijrah' yang hanya dimaknai sebagai mengonsumsi produk 'halal' & berpakaian 'syar'i' namun terlupakan makna asal 'hijrah' sebagai kehidupan bersama dengan mereka yang berbeda.
3. Ekspresi keIslaman yang hanya mengekor apa yang terjadi di bagian dunia lain tanpa kontekstualisasi & kritisisme mendasar. Contoh, mengadopsi penderitaan Muslim Palestina yang terjajah dalam konteks Indonesia di mana Muslim berkuasa.
Dan 4. Ekspresi keIslaman yang mengeksploitasi tradisi Islam, & bukannya memperkaya tradisi Islam melalui pemikiran-pemikiran serius. Contoh, pengagungan poligami sebagai 'sunnah Nabi' tanpa pengetahuan mendalam tentang bagaimana & mengapa poligami muncul pada awalnya.
Jadi, Islam Pemalas adalah ekspresi Islam yang malas karena penganut Islam Pemalas hanya mau berteriak lantang bahwa dia adalah Muslim tanpa mau menguras energi otak untuk berpikir tentang Islam itu sendiri. Bagi mereka Islam seperti ayam goreng dalam kotak: tinggal dibuka, siap dikonsumsi.
Kontroversi bendera hitam kmrin adalah satu contoh Islam Pemalas. Pendukung kontroversi itu mementingkan simbol & melupakan makna. Mereka enggan bersusah-payah mencari tahu soal sejarah simbol yang mereka agungkan. Yang penting garis antara 'kita' & 'mereka' jelas adanya. Peduli setan dengan sejarah & etika
Diamnya sebagian Muslim Indonesia soal kematian Tuti adalah contoh lain dari Islam Pemalas. Tuti tak dibela karena membela Tuti berarti mengecam Saudi, simbol kosong lainnya dari Islam Pemalas.
Membela Tuti juga berarti memeras otak untuk memahami bagaimana bisa ada otoritas 'suci' Islam yang jahatnya seperti neraka (Saudi Arabia). Maklum, karena dalam dunia hitam-putih Muslim Pemalas 'kita' (Muslim) selalu benar, & selain kita selalu salah.
Nyawa Tuti menjadi tak berarti karena kematiannya berada dalam wilayah abu-abu simbolisasi agama. Sama posisinya dengan korban perang di Yaman. Ketika simbol jadi kuasa, maka tampilan luarlah yang menjadi tolak ukur utama. Etika dibuang keluar jendela.
Obat penyakit 'Islam Pemalas' ini berat adanya. Budaya membaca, berdiskusi, & beradab-etika adalah solusinya. Dibutuhkan kemauan untuk berpikir & bertanya terus-menerus. untuk memeluk semua wilayah abu-abu & menerima beda. Tapi, inshAllah sedikit demi sedikit kita bisa.
(L, Notre Dame).

Kamis, 04 Oktober 2018

'Kitab' Sutasoma, Asal Muasal 'Bhinneka Tunggal Ika'

Kakawin Sutasoma - Indonesia Space Research

Mungkin masih banyak di antara kita yang belum mengenal betul asal muasal Bhinneka Tunggal Ika, sebuah slogan yang fenomenal dan selalu menjadi rujukan serta pengingat kita untuk tetap bersatu dalam keberagaman bangsa ini. Dalam artikel kali ini, saya telah mengutip dari berbagai referensi yang mengupas tentang Asal Muasal Bhinneka Tunggal Ika. Enjoy Reading Everyone...!

Indonesia punya semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang memiliki arti 'berbeda-beda tetapi tetap satu'. Semboyan itu menjadi moto bangsa Indonesia yang melambangkan persatuan di tengah keberagaman Indonesia.

Sebenarnya frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan penciptanya pun bukan seorang pejuang kemerdekaan.

'Bhinneka Tunggal Ika' adalah sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno.

Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali. Diketahui, Kakawin Sutasoma dikarang pada abad ke-14.

Dalam sebuah teks yang tercantum di Kakawin Sutasoma, dikatakan Buddha dan Siwa berbeda, tetapi dapat dikenali, sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda tetapi tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.

Kutipan frase Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam petikan pupuh 139 bait 5 pada Kakawin Sutasoma, yang petikannya sebagai berikut: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.

Artinya adalah “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Hiasan emas dari masa Majapahit yang menggambarkan Sutasoma digendong Kalmasapada

 Bila diterjemahkan tiap kata, Bhinneka punya arti 'beraneka ragam'. Kata tunggal berarti 'satu' dan ika berarti 'itu'. Sehingga, bila mengacu berdasarkan arti secara harfiahnya, 'Bhinneka Tunggal Ika' memiliki arti 'beraneka ragam itu satu'.


Kakawin Sutasoma yang dipamerkan telah dituliskan kembali di atas daun lontar berukuran 40,5 X 3,5 cm pada tahun 1851 dengan isi 182 halaman dan tiap halamannya ditulis dalam 4 baris. Namun, tak diketahui siapa yang menuliskan ulang Kakawin Sutasoma tersebut, karena tidak ada petugas yang bisa ditanya perihal informasi lengkap kakawin tersebut.

Thanks for visiting...:D

Sumber:
1. https://news.detik.com/berita/d-3519151/melihat-kitab-sutasoma-asal-muasal-bhinneka-tunggal-ika

2. http://lifestyle.bisnis.com/read/20170605/230/659442/kitab-inspirasi-bhinneka-tunggal-ika-karya-mpu-tantular-dipamerkan-di-museum-nasional


Asal Muasal Suku Tengger: Permata Sejarah Tanah Majapahit



Siapa yang tidak kenal dengan Suku Tengger? Kalau kita mulai mendengar Suku Tengger pastinya tidak pernah lepas dari eksotika Gunung Bromo. Gunung Bromo merupakan sebuah tempat wisata yang ikonik yang terletak di atas bumi tiga wilayah administrative yaitu Kabupaten Probolinggo, Malang dan Lumajang. Gunung aktif dengan tinggi 2.392 meter, dikelilingi oleh hamparan pasir, serta pemandangan matahari terbit yang spektakular membuat Gunung Bromo memiliki daya tarik tersendiri bagi sejumlah wisatawan lokal maupun mancanegara. Jadi tidak salah apabila Gunung Bromo menjadi destinasi wisata unggulan yang dimiliki oleh Indonesia.
Namun tidak lengkap rasanya apabila membahas Gunung Bromo tanpa mengenal penduduk asli yang hidup di sekitarnya, Suku Tengger. Berbeda dengan penduduk di Jawa Timur kebanyakan, Suku Tengger memiliki kepercayaan, bahasa, serta kebudayaan yang unik dan kontras. Tradisi yang berkembang di kalangan Suku Tengger berkaitan erat dengan Gunung Bromo. Bisa dikatakan, antara Gunung Bromo dengan Suku Tengger memiliki sebuah ikatan mistis yang saling menghidupi satu sama lain.
Asal-Usul Hingga Legenda Roro Anteng dan Joko Seger


Terdapat beberapa pandangan yang menjelaskan tentang asal-usul dari nama “Tengger”. Pendapat pertama mengatakan bahwa istilah “Tengger” berarti pegunungan yang notabene menjadi tempat tinggal mereka. Pandangan berikutnya menyatakan bahwa istilah “Tengger” berasal dari kalimat Tenggering Budi Luhur yang berarti budi pekerti yang luhur, menggambarkan watak Suku Tengger yang seharusnya. Hingga pandangan terakhir mengatakan bahwa nama “Tengger” merupakan kata gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, nama leluhur Suku Tengger.
Di dalam bukunya yang berjudul Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Robert W. Hefner menjelaskan bahwa orang-orang Suku Tengger merupakan keturunan dari para pengungsi Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-16, Kerajaan Majapahit yang mulai melemah mengalami serangan dari kerajaan Islam yang dipimpin oleh Raden Patah. Menyelamatkan diri dari invasi, sebagian masyarakat Majapahit mengungsi menuju Pulau Bali. Sebagian lainnya memilih untuk menempati sebuah kawasan pegunungan di Jawa Timur, mengisolasi diri dari pengaruh luar. Orang-orang inilah yang kelak dinamakan sebagai Suku Tengger.

Di kalangan Suku Tengger sendiri, berkembang sebuah legenda yang menceritakan tentang sejarah leluhur mereka. Tersebutlah Roro Anteng, putri pembesar Kerajaan Majapahit, dan Joko Seger yang merupakan putra dari seorang brahmana. Roro Anteng dan Joko Seger kemudian menikah dan mereka turut menjadi pengungsi di Pegunungan Tengger. Di sanalah kemudian mereka menjadi pemimpin dengan gelar Purbawisesa Mangkurat Ing Tengger. Keturunan dari Roro Anteng dan Joko Seger inilah yang kelak menjadi Suku Tengger di Jawa Timur.
Kondisi Sosial Suku Tengger yang Unik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para leluhur Suku Tengger mengungsi dan terisolasi di Pegunungan Tengger. Kondisi mereka yang tidak tersentuh oleh peradaban luar selama bertahun-tahun itulah yang kemudian berdampak pada kondisi sosial Suku Tengger.
Berbeda dengan peradaban Jawa lainnya yang telah didominasi oleh ajaran Islam, Suku Tengger masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit. Para leluhur Suku Tengger menganut aliran kepercayaan Siwa-Budha yang kemudian berkembang menjadi agama Hindu seperti yang dipegang oleh Suku Tengger kini.
Soal bahasa pun juga demikian. Suku Tengger memiliki dialek yang berbeda dengan Bahasa Jawa yang berkembang di era modern. Mereka masih menggunakan dialek Bahasa Kawi dan terdapat beberapa kosakata Jawa Kuno yang sudah tidak lagi digunakan oleh penutur Bahasa Jawa lainnya. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang Suku Jawa mengalami kesulitan dalam memahami Bahasa Tengger.
Tidak hanya itu, Suku Tengger juga memiliki sistem penanggalan tersendiri di samping penanggalan Masehi. Mereka menggunakan sistem penanggalan Tahun Saka yang mengadopsi dari sistem penanggalan Hindu. Karena itulah, sistem penanggalan Suku Tengger mirip dengan penanggalan tradisional Jawa maupun Bali. Dalam satu tahun, terdapat dua belas bulan. Nama-nama bulan tersebut antara lain Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kasadasa, Dhesta, dan Kasadha. Dalam satu bulan terdapat tiga puluh hari. Sistem penanggalan inilah yang berguna untuk menentukan pelaksanaan upacara-upacara adat Suku Tengger.

Upacara Yadnya Kasada

Selain unik, Suku Tengger juga dikenal kaya akan tradisi dan serangkaian upacara-upacara adat. Salah satu upacara yang terkenal adalah Yadnya Kasada. Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 14 bulan Kasadha. Di dalam upacara Yadnya Kasada, masyarakat Suku Tengger berdoa kepada Tuhan serta menyerahkan kurban berupa hewan ternak dan hasil tani seperti sayuran dan buah-buahan menuju kawah Gunung Bromo. Upacara tersebut bertujuan untuk memohon keselamatan dan berkah. Selain itu, Yadnya Kasada juga menjadi ajang peringatan bagi Suku Tengger untuk mengenang pengorbanan Raden Kusuma, putra bungsu Roro Anteng dan Joko Seger.


Menurut legenda setempat, Roro Anteng dan Joko Seger bertapa di Gunung Bromo memohon keturunan kepada Tuhan. Mereka juga berjanji akan mengorbankan anak bungsunya ke Gunung Bromo jika mereka dikaruniai keturunan. Doa mereka akhirnya dikabulkan dan mereka memiliki 25 anak. Namun Raden Kusuma sebagai putra bungsu tak kunjung dikorbankan. Hal inilah yang membuat Gunung Bromo murka hingga kerelaan Raden Kusuma untuk mengorbankan diri mampu meredakan amarah Gunung Bromo.
Kini, Yadnya Kasada menjadi upacara adat Suku Tengger yang mampu menarik minat para wisatawan. Momen tersebut berkontribusi pada banyaknya jumlah wisatawan yang mengunjungi Gunung Bromo. Berdasarkan data yang dilansir oleh BBC Indonesia, terdapat sebanyak 380.000 wisatawan lokal dan 37.000 wisatawan mancanegara mengunjungi Bromo pada tahun 2015. Tidak hanya menawarkan pemandangan yang indah, wisata di Gunung Bromo juga dihidupkan oleh tradisi dan keunikan Suku Tengger yang masih lestari hingga kini.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
Sumber gambar utama: Ulet Ifansasti - Getty Images (via Time.com) - Times Indonesia