RAJA Hayam Wuruk yang bergelar Sri Raja sanagara naik takhta kerajaan Majapahit di usia belia, yakni 16 tahun. Informasi yang di himpun dari berbagai sumber menyebutkan, Empu Prapanca dalam kitabnya Negarakertagama mengatakan wilayah Majapahit sangat luas.
Pada masa Hayam Wuruk, kebudayaan dan kesusastraan berkembang pesat. Sejumlah candi sebagai tempat pemujaan atau peribadatan di bangun. Misalnya, Candi Penataran, Candi Tikus, Candi Sawentar, dan Candi Bujang Ratu. Termasuk Candi Jabung yang berada di wilayah Kabupaten Probolinggo.
Dikisahkan, beberapa bulan setelah dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk berniat mengunjungi wilayah kekuasaannya di timur pulau Jawa. Niatan ini muncul setelah Hayam Wuruk mengadakan semedi. Di dalam semedinya itu ia melihat suatu daerah yang potensial untuk di kembangkan.
Daerah tersebut berada di timur ibu kota Majapahit. Diutarakanlah rencana ini kepada Patih Gajah Mada. Patih yang terkenal dengan sumpah Palapanya itu setuju dengan niatan tersebut. Singkat cerita, berangkatlah rombongan kerajaan Majapahit ke arah timur.
Raja Hayam Wuruk di dampingi Patih Gajah Mada memimpin langsung pasukan Bayangkari kerajaan. Daerah yang dilalui oleh Hayam Wuruk adalah Kalayu, Kebonagung, Sajabung, hingga Paiton. Setibanya di Paiton, berkatalah sang Prabu Hayam Wuruk, “Daerah inilah yang aku lihat dalam semediku. Oleh karena itu, daerah ini ku beri nama Paiton,”.
Kata Paiton merupakan gabungan dua kata yakni Pait yang merupakan potongan kata Majapahit. Sementara, Ton berasal dari kata Katon. Artinya majapahit katon (kelihatan). Nama-nama desa yang ada di Paiton konon juga merupakan pemberian Hayam Wuruk.
Seperti Pandean, alat gamelan banyak dibuat disana. Desa Alas Tengah, karena hutan yang dilewati rombongan berada di tengah-tengah. Sampai akhirnya, Hayam Wuruk mengingatkan Gajah Mada tentang keinginannya membangun sebuah candi.
Gajah Mada yang sempat lupa langsung mengiyakan. Nah, tempat itu kini dikenal dengan Desa Sidodadi, dari gabungan Sido (pasti) dan Dadi (jadi). Rombongan kemudian terus berjalan ke arah utara kemudian ke barat.
Ketika sampai di suatu tempat, mereka terpesona melihat keindahan bulu burung merak yang sedang bertengger di atas pohon randu. Peristiwa inilah yang menjadikan daerah ini diberi nama Randumerak.
Akhirnya Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada beserta para pengawalnya sampai di Sajabung (sekarang Jabungcandi). Di Sajabung inilah Prabu Hayam Wuruk merasa cocok untuk membangun candi. Dimulailah pembangunan candi yang sekarang dikenal dengan nama Candi Jabung pada 1350 dan selesai pada rentang waktu antara tahun 1354.
Ada juga yang menyebut candi rampung digarap tahun 1356. “Untuk tahunnya memang antara tahun itu,” ujar Harun Al-Rasyid, sesepuh Dusun Candi, Desa Jabung Candi. Dalam kitab Negarakertagama digambarkan keindahan Candi Jabung.
“Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala, candinya Budha menjulang sangat elok bentuknya”. Sri Rajanagara membangun candi Jabung untuk menghormati kerabat perempuan Pangeran Bhra Gundal, seorang kerabat kerajaan Majapahit.
Hal itu tertuang dalam buku yang disusun Kantor Arsip bersama tim penulis dari Universitas Surabaya (Ubaya) berjudul “Candi Jabung, Mutiara Majapahit dari Kalayu”. Setelah membangun Candi Jabung, rombongan kerajaan melanjutkan perjalanan ke timur.
Nah, selang 4 sampai 5 tahun kemudian, Hayam Wuruk kembali mengunjungi Candi Jabung. Kali ini untuk mengadakan upacara “Mamenggat Sigi”. Artinya upacara untuk mengenang dan mendoakan arwah para leluhur.
Upacara Mamenggat Sigi ini dipimpin oleh Empu Pradah. Tak ketinggalan pula selir raja Hayam Wuruk yang bernama Nilamsari ikut dalam kunjungan kali ini. Diam-diam kedatangan rombongan kerajaan ini dibuntuti oleh maling sakti yang bernama Citraguna.
Sudah lama Citraguna menaruh hati kepada Nilamsari. Ia terpesona oleh kecantikan Nilamsari. Ia berencana menculik Nilamsari untuk dijadikan istri. Setelah melaksanakan upacara Mamenggat Sigi, ritual dilanjutkan dengan mandi suci.
Hayam Wuruk dan Empu Pradah merencanakan mandi suci di dua tempat. Yakni di Sendangagung Tamansari dan di air terjun di daerah selatan (sekarang Madakaripura). Karena itu, Nilamsari ditinggal di Candi Jabung ditemani empat dayangnya.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Citraguna untuk menculik selir raja. Nilamsari yang mengetahui hal itu, berusaha menolak dengan halus. Sayangnya, semakin ditolak, Citraguna makin agresif. Nilamsari kemudian kabur.
Sampailah Ia disebuah sumber air yang sangat jernih. Daerah inilah yang kemu dian dikenal dengan nama Desa Sumberrejo. Sumber artinya mata air. Rejo artinya jernih. Sumberrejo berarti mata air yang jernih. Setelah melepas lelah di Sumberrejo, Nilamsari melanjutkan perjalanannya melalui Sidorejo, Kedungrejoso, Kertosono, Alassumur hingga akhirnya sampai di Sendangagung Tamansari.
Di sinilah Nilamsari amuksa atau moksa, yakni melepaskan duniawi. Citraguna yang mendengar Nilamsari berada di Sendangagung Tamansari segera menyusul. Citraguna yang melihat Nilamsari di dasar kolam, langsung nyebur. Ternyata, Nilamsari tidak ada dalam kolam. Yang Ia lihat hanyalah bayangan semata. Pusaran air di kolam itu membuat Citraguna tenggelam selamalamanya.
Pada masa Hayam Wuruk, kebudayaan dan kesusastraan berkembang pesat. Sejumlah candi sebagai tempat pemujaan atau peribadatan di bangun. Misalnya, Candi Penataran, Candi Tikus, Candi Sawentar, dan Candi Bujang Ratu. Termasuk Candi Jabung yang berada di wilayah Kabupaten Probolinggo.
Dikisahkan, beberapa bulan setelah dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk berniat mengunjungi wilayah kekuasaannya di timur pulau Jawa. Niatan ini muncul setelah Hayam Wuruk mengadakan semedi. Di dalam semedinya itu ia melihat suatu daerah yang potensial untuk di kembangkan.
Daerah tersebut berada di timur ibu kota Majapahit. Diutarakanlah rencana ini kepada Patih Gajah Mada. Patih yang terkenal dengan sumpah Palapanya itu setuju dengan niatan tersebut. Singkat cerita, berangkatlah rombongan kerajaan Majapahit ke arah timur.
Raja Hayam Wuruk di dampingi Patih Gajah Mada memimpin langsung pasukan Bayangkari kerajaan. Daerah yang dilalui oleh Hayam Wuruk adalah Kalayu, Kebonagung, Sajabung, hingga Paiton. Setibanya di Paiton, berkatalah sang Prabu Hayam Wuruk, “Daerah inilah yang aku lihat dalam semediku. Oleh karena itu, daerah ini ku beri nama Paiton,”.
Kata Paiton merupakan gabungan dua kata yakni Pait yang merupakan potongan kata Majapahit. Sementara, Ton berasal dari kata Katon. Artinya majapahit katon (kelihatan). Nama-nama desa yang ada di Paiton konon juga merupakan pemberian Hayam Wuruk.
Seperti Pandean, alat gamelan banyak dibuat disana. Desa Alas Tengah, karena hutan yang dilewati rombongan berada di tengah-tengah. Sampai akhirnya, Hayam Wuruk mengingatkan Gajah Mada tentang keinginannya membangun sebuah candi.
Gajah Mada yang sempat lupa langsung mengiyakan. Nah, tempat itu kini dikenal dengan Desa Sidodadi, dari gabungan Sido (pasti) dan Dadi (jadi). Rombongan kemudian terus berjalan ke arah utara kemudian ke barat.
Ketika sampai di suatu tempat, mereka terpesona melihat keindahan bulu burung merak yang sedang bertengger di atas pohon randu. Peristiwa inilah yang menjadikan daerah ini diberi nama Randumerak.
Akhirnya Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada beserta para pengawalnya sampai di Sajabung (sekarang Jabungcandi). Di Sajabung inilah Prabu Hayam Wuruk merasa cocok untuk membangun candi. Dimulailah pembangunan candi yang sekarang dikenal dengan nama Candi Jabung pada 1350 dan selesai pada rentang waktu antara tahun 1354.
Ada juga yang menyebut candi rampung digarap tahun 1356. “Untuk tahunnya memang antara tahun itu,” ujar Harun Al-Rasyid, sesepuh Dusun Candi, Desa Jabung Candi. Dalam kitab Negarakertagama digambarkan keindahan Candi Jabung.
“Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala, candinya Budha menjulang sangat elok bentuknya”. Sri Rajanagara membangun candi Jabung untuk menghormati kerabat perempuan Pangeran Bhra Gundal, seorang kerabat kerajaan Majapahit.
Hal itu tertuang dalam buku yang disusun Kantor Arsip bersama tim penulis dari Universitas Surabaya (Ubaya) berjudul “Candi Jabung, Mutiara Majapahit dari Kalayu”. Setelah membangun Candi Jabung, rombongan kerajaan melanjutkan perjalanan ke timur.
Nah, selang 4 sampai 5 tahun kemudian, Hayam Wuruk kembali mengunjungi Candi Jabung. Kali ini untuk mengadakan upacara “Mamenggat Sigi”. Artinya upacara untuk mengenang dan mendoakan arwah para leluhur.
Upacara Mamenggat Sigi ini dipimpin oleh Empu Pradah. Tak ketinggalan pula selir raja Hayam Wuruk yang bernama Nilamsari ikut dalam kunjungan kali ini. Diam-diam kedatangan rombongan kerajaan ini dibuntuti oleh maling sakti yang bernama Citraguna.
Sudah lama Citraguna menaruh hati kepada Nilamsari. Ia terpesona oleh kecantikan Nilamsari. Ia berencana menculik Nilamsari untuk dijadikan istri. Setelah melaksanakan upacara Mamenggat Sigi, ritual dilanjutkan dengan mandi suci.
Hayam Wuruk dan Empu Pradah merencanakan mandi suci di dua tempat. Yakni di Sendangagung Tamansari dan di air terjun di daerah selatan (sekarang Madakaripura). Karena itu, Nilamsari ditinggal di Candi Jabung ditemani empat dayangnya.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Citraguna untuk menculik selir raja. Nilamsari yang mengetahui hal itu, berusaha menolak dengan halus. Sayangnya, semakin ditolak, Citraguna makin agresif. Nilamsari kemudian kabur.
Sampailah Ia disebuah sumber air yang sangat jernih. Daerah inilah yang kemu dian dikenal dengan nama Desa Sumberrejo. Sumber artinya mata air. Rejo artinya jernih. Sumberrejo berarti mata air yang jernih. Setelah melepas lelah di Sumberrejo, Nilamsari melanjutkan perjalanannya melalui Sidorejo, Kedungrejoso, Kertosono, Alassumur hingga akhirnya sampai di Sendangagung Tamansari.
Di sinilah Nilamsari amuksa atau moksa, yakni melepaskan duniawi. Citraguna yang mendengar Nilamsari berada di Sendangagung Tamansari segera menyusul. Citraguna yang melihat Nilamsari di dasar kolam, langsung nyebur. Ternyata, Nilamsari tidak ada dalam kolam. Yang Ia lihat hanyalah bayangan semata. Pusaran air di kolam itu membuat Citraguna tenggelam selamalamanya.
Komentar
Posting Komentar