Heroisme lekat terasa dalam moment sejarah perjuangan Indonesia ketika kita flashback 72 tahun silam. Pertumpahan darah dan perjuangan pantang menyerah merebut kemerdakaan dan martabat bangsa menjadi tujuan mulia para pemuda dan pejuang terhormat negera kita. Setiap tetes darah dan keringat yang menorehkan makna ghirroh arti sebuah perjuangan dan pengorbanan untuk menjemput kebebasan di ambang asa, yang dewasa ini mulai pudar tercermin dalam jiwa dan raga pemuda-pemudi penerus estafet kepemimpinan bangsa Indonesia.
Proses kemerdakaan tidak pernah luput dari keterlibatan dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat termasuk perempuan, yang dipersepsikan sebagai kaum lemah (subordinate group). Masih segar dalam ingatan nama pahlawan wanita yang dengan gigih memperjuangan nasib bangsa dan perempuan memproklamirkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan yang dalam dalam istilah popular kita sebut “Women’s Equality and Empowerment”. Ya, mereka adalah Ibu Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu dsb. Para aktivis perempuan tersebut memperjuangkan nasib kaum mereka dari penindasan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, banyak persepsi dan prasangka tanpa sebuah analisa makna sebenarnya dalam realita. Hal ini yang kemudian disebut Gender Stereotype.
Membahas kesetaraan gender, terlintas dalam benak kita konsep tentang persamaan antar laki-laki dan wanita. Yang perlu diingat dalam konsepsi dan persepsi kita adalah bahwa Equality IS NOT Sameness yang artinya kesetaraan bukanlah kesamaan. Sering salah penafsiran pada masyarakat kita bahwa emansipasi wanita hanyalah teori bualan belaka yang tidak akan pernah terjadi. Gender bukan konsep tentang laki-laki dan wanita secara terpisah melainkan merupakan hubungan antara keduanya. Gender juga berperan dalam menentukan hubungan dan peran keduanya di masyarakat. Gender bukan konsepsi tentang kesamaan yang banyak masyarakat kita berpendapat jika laki-laki mampu mengangkat beban 50kg maka wanita pun harus mampu melakukan hal yang sama. Persepsi ini totally incorrect. Sehingga perlu ada penjernihan pemahaman dari sebuah stereotype yang mendeskriminasi perempuan dalam konstruksi sosial masyarakat.
Menguak gender stereotype merupakan langkah awal untuk menciptkan hubungan harmonis antara laki-laki dan perempuan. Karena gender stereotype acapkali dijadikan topeng dalam menjustifikasi sebuah perlakuan diskriminatif di masyarakat kita oleh mereka yang berkepentingan. Jika kita analisa bagaimana setiap sudut proses kehidupan kita, baik di era pra-kemerdekaan sampai dengan saat ini, yang katanya, era reformasi tanpa keberadaan salah satu gender (laki-laki hidup tanpa perempuan dan begitu juga sebaliknya). Akankah siklus kehidupan sosial berjalan dengan normal? Anda tahu jawanbanya pasti TIDAK. Bagaimana mungkin kita bisa mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan akan suatu hal, dan bagaimana mungkin kita hidup tanpa saling berdampingan. Oleh karenanya, gender equality tidak bisa disamaartikan dengan gender sameness, karena keduanya merupakan variable yang berbeda.
Buah harapan dari gender equality adalah kesetaraan hak, kesetaraan akses kegiatan sosial, kesetaraan akses kontrol dalam pembuatan kebijakan dan pembangunan, kesetaraan peran, status dan nilai, dan kesetaraan manfaat dari pembangunan bangsa. Sedangkan gender inequality dapat menyebabkan GAPS (baca: jurang) antar laki-laki dan perempuan. Gender gaps meliputi perbedaan dalam hak, control, kepemilikan, posisi dan kesempatan. Sehingga dapat menciptakan konflik dan kesenjangan sosial yang berujung disharmonisasi hubungna sosial antara laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apa kemudian korelasi gender stereotype dengan refleksi nilai nasionalisme? Korelasinya jelas setelah kita menguak makna gender equality untuk memberikan keleluasaan dan meningkatkan kualitas diri masing-masing gender tanpa mengorbankan salah satu diantaranya dan pemahaman bahwa gender juga membawa bersamanya perubahan dalam aspek sikap, tingkah laku, peran dan kewajiban baik di rumah, tempat kerja dan di masyarakat. Berangkat dari persepsi dan pemahaman yang benar, maka kita mampu merefleksikan nilai nasionalisme secara objektif terkait dengan peran dan perjuangan laki-laki dan perempuan di masa penjajahan silam.
Refleksi nilai nasionalisme dalam individu masyarakat kita dewasa ini, terutama para pemuda-pemudi bangsa Indonesia sudah mulai pudar. Bukan karena tidak adanya kesadaran ataupun ketidaktahuan melainkan disebabkan besarnya keengganan dan sikap apatis yang menjadi epidemic bangsa kita. Sikap tidak peduli dan antipati menjadi pemicu utama mengapa nilai-nilai nasionalisme itu terkikis bahkan hilang dalam diri kita, generasi pejuang bangsa Indonesia.
Peperangan dan pertumpahan darah melawan penjajah mungkin telah berakhir 69 tahun lalu pasca kemerdekaan. Namun perjuangan dan pengorbanan tidak boleh berhenti disitu, namun sebagai kader bangsa dan Negara Indonesia tercinta, kita sebagai pemuda wajib untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan prestasi, kompetensi dan semangat patriotism serta nasionalisme melawan intervensi negera asing dan bersaing mempersembahkan yang terbaik. Fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan), sekarang tidak ada lagi alasan untuk berhenti berjuang dan menorehkan prestasi untuk negeri tercinta ini, demi termanifestasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Refleksi nilai nasionalisme harus senantiasa bersemayam dalam denyut nadi dan setiap hembusan nafas kita, karena dengan nasionalisme kita akan mampu menjadi Negara yang kuat, terhormat dan bermartabat untuk mempertahankan NKRI.
Ingat, pemuda-pemudi generasi penerus bangsa Indonesia, kesampingkan gender stereotype, tidak boleh ada lagi diskriminasi dan dikotomi, karena kita satu untuk Negeri Pertiwi. Bhineka Tunggal Ika, walaupun kita berbeda namun seyogyanya kita satu kesatuan yakni NKRI harga Mati.
Komentar
Posting Komentar