Mujiburrohman
Sumba Barat, NTT merupakan bagian timur dari Indonesia
dengan segudang keindahan potensi alam yang memanjakan mata yang menatapnya,
tak heran jika Sumba Barat dengan Nihiwatu-nya mampu meraih penghargaan dunia
sebagai Hotel dan Resort Terbaik pada tahun 2016 lalu dan tahun 2017 versi
Majalah Travel+Leisure. Namun ironisnya
prestasi itu berbanding terbalik dengan fakta Indeks Pembanguan Manusia (IPM)
yang ada di provinsi NTT sebesar 63,13 masih berada di bawah rata-rata Nasional
yakni 70,18 pada tahun 2016. Hal ini tidak lain dipengaruhi oleh tidak
meratanya akses terhadap kualitas pendidikan (quality education).
Menurut
hemat penulis, permasalahan tersebut khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar
dan Tertinggal) disebabkan oleh minimnya fasilitas, rendahnya SDM pendidik dan
lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, sehingga menjadi bomb
waktu yang suatu saat bisa meledak dan memorak-porandakan pendidikan kita lebih
buruk lagi.
Keluarga
penulis tinggal di Sumba Barat selama kurang lebih 12 tahun dan mengajar di
sekolah dasar setempat. Permasalahan yang senantiasa hadir menjadi rutinitas
menu harian di sekolah itu adalah murid
yang nakal, sulit diatur dan berkata kasar,
walau berbagai macam treatment
diberikan namun hasilnya kurang signifikan.
Suatu
pagi di sekolah, kakak penulis mendapati muridnya, Junaidi, yang selalu datang
terlambat. Kakak
penulis pun mendatanginya dan mengajak Junaidi dengan baju lusuh dan rambut
kusut karena tidak disisir itu duduk di kursi
guru piket samping kantor. “Jun, kenapa kamu setiap hari datang terlambat?
Padahal Bu guru sudah kasih hukuman dan nasehat, tapi kamu masih tetap saja
datang terlambat, kalau sudah waktu pulang kamu pasti paling
awal”, tanya kakak penulis dengan nada sedikit jengkel. Dengan kepala tertunduk
Si Junaidi menjawab “Saya setiap pagi masih membantu orang tua jualan di pasar
Bu, dan sepulang sekolah saya langsung pulang untuk merawat kuda kesayangan di
rumah”, terangnya pada kakak perempuan penulis. Ya, karena memang Sumba
terkenal dengan kuda-nya yang kuat dan gagah, sehingga wajar Kuda menjadi
binatang peliharaan idola masyarakat setempat. Penulis kemudian berpikir bahwa
‘Kuda’ dan ‘Bekerja’ jauh lebih penting dari pada sekolah menurut kebanyakan masyarakat
di Sumba. Persoalan ini yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi guru
untuk mencari strategi efektif menanggulangi persoalaan yang tengah dihadapi.
Banyak
dari guru di Indonesia yang berasumsi bahwa tugas guru masa kini hanya mengajar
di kelas saja tanpa memikirkan bagaimana sikap murid di sekolah apalagi di
rumah terutama semenjak diberlakukannya peraturan perlindungan anak oleh KPAI yang acapkali disalahgunakan oleh masyarakat
kita. Beragam alasan yang dilontarkan oleh para pendidik,
ada yang karena takut dituntut secara hukum, ganti rugi materi dan lain
sebagainya. Kasus ini pernah menimpa kakak perempuan penulis pada tahun pertama mengajar yang memukul salah satu muridnya karena berperilaku
di luar batas wajar. Akhirnya
wali murid yang bersangkutan melaporkan ke pihak berwajib, alhasil kakak
penulis pun dipolisikan dan harus menjalani wajib lapor selama 3 x 24 jam, ada
juga guru yang dipenjarakan bahkan dipecat dari sekolah, hal ini kemudian membawa trauma tersendiri
bagi guru yang bersangkutan. Miris, ironis
dan sangat memprihatinkan melihat kondisi pendidikan di Sumba dan penulis yakin
hal serupa juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Ini terjadi karena
absennya sinergitas yang intensif antara pihak sekolah dan orang tua, sehingga
terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat bahkan pemerintah tanpa mengetahui
dan mengidentifikasi akar permasalahan sebenarnya.
Problematika
pendidikan akan selalu datang menghantam namun semangat juang tak boleh padam.
Menjadi guru adalah tugas mulia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 20
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang pada intinya guru
bertanggung jawab untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis dan juga dialogis serta berkomitmen secara
professional meningkatkan mutu pendidikan.Karena kepada siapa lagi kita
pasrahkan masa depan negeri ibu pertiwi ini kalau bukan kepada mereka
para pendidik bangsa dan kita semua sebagai elemen integratif masyarakat.
Implikasi
dari persoalan yang dihadapai di Sumba dan di banyak daerah 3T lainnya bisa
menjadi depiksi nyata tentang protret pendidikan di Indonesia dengan timpangnya kualitas pendidikan yang ada. Menjadi seorang
pendidik tidak cukup hanya dengan jiwa pengabdian tanpa dibekali dengan kemampuan
yang baik dan keinginan kuat membenahi masyarakat. Oleh karena itu, implementasi
sinergitas multi-peran OMG menjadi oase di tengah gersangnya
kualitas pendidikan, karena gerakan sinergis mampu
menguatkan pembelajaran di sekolah. Komponen penting tersebut dapat kita
intrepretasikan ke dalam tiga poin pokok.
1.
Pola
Asuh (Parenting)
Parenting adalah pekerjaan dan keterampilan orang tua dalam mengasuh anak. Dalam
artikel ini titik tekannya adalah bagaimana orang tua dan guru memiliki
kemampuan pola asuh yang baik terhadap anak baik di rumah maupun di sekolah.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mustofa al-Ghulayani bahwa “Pendidikan (Tarbiyah)
adalah menanamkan akhlak (budi pekerti) dalam jiwa murid”. Sehingga dengan
penanaman karakter dan akhlak mulia akan dengan sendirinya mampu mengubah
perilaku dan pola belajar anak di rumah dan di sekolah. Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa pendidikan pertama seorang anak berawal dari rumah yaitu orang
tua. Seirama dengan pernyataan Henry Clay Lindgren yang menyebutkan bahwa:
“The
family, not the school, provides the first educational experiences beginning in
infancy, with the attempt to guide and direct the child-to train him”.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat dipahami bahwa parenting
bukan sekedar merujuk pada suasana kegiatan belajar mengajar yang ansih
menitikberatkan sisi kognitif anak (transfer of knowledge) melainkan
lebih pada kehangatan dan emosi yang dirasakan dalam sebuah proses pendidikan (transfer
of values). Sehingga ikatan emosional yang erat antara orang tua dan anak,
guru dan murid akan terjalin. Dengan harapan apa yang diberikan kepada anak
(pengasuhan) akan berdampak positif dan progresif bagi kehidupannya terutama
bagi agama, diri, bangsa, dan juga negaranya.
Tugas utama mencerdaskan anak
tetaplah ada pada orang tua meskipun anak telah dimasukkan ke sekolah. Oleh
karena itu, peran orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak sangatlah penting
dalam mengembangkan potensi anak. Proses penanaman aqidah dan nilai-nilai luhur
berada di tangan orang tua karena dalam hal ini orang tua yang memiliki
tanggung jawab untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Namun dewasa ini
konteks pendidikan kita berbeda, dimana banyak
orang tua nikah muda (early marriage) karena kecelakaan (marriage by
accident) atau kurang terdidik sehingga berpengaruh terhadap kualitas anak,
karena secara kematangan tipe kedua orang tua di atas belum dewasa (immature).
Sehingga peran guru bersama sekolah memberikan bimbingan sederhana namun
substantif tentang parenting dan multiple intelligences anak mutlak
diperlukan, harapannya orang tua mampu dan mau memperbaiki cara mendidik anak
demi perkembangannya.
Sebagai makhluk psycho-physics
neutral, manusia memiliki kemandirian (self-esteem) jasmaniah dan
rohaniah yang menurut Prof. Rhenald Kasali manusia butuh Agility
(ketangkasan) dalam mengarungi samudera kehidupan. Di dalam kemandiriannya itu
manusia mempunyai potensi dasar sebagai cikal-bakal yang tumbuh dan selalu
berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan itu memerlukan pendidikan dan
bimbingan. Rhenald Kasali juga mengkomparasikan konteks dulu dengan konteks
kekinian bahwa dulu mereka yang paling kuat (the fittest) mampu meraih
kesuksesan namun saat ini yang paling tanggap terhadap perubahan yang bisa
meraih kesuksesan (the fastest).
Selain itu, menurut Aristotles,
manusia berfungsi sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang memiliki
naluri untuk hidup berdampingan dengan masyarakat. Manusia hidup tidak hanya sebagai
makhluk individu, melainkan juga makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan
kelompoknya serta lingkungan sekitar.
Pada fase anak-anak, mereka masih
membutuhkan bimbingan dan pengawasan dari orang tua dan guru supaya mampu
membentuk kepribadian yang baik dan akhlak mulia. Karena anak-anak ibarat
gelombang radio dan orang tua itu bukan hanya sekedar penangkap gelombang
melainkan juga pemancarnya. Maka dari itu, orang tua dan guru harus memberikan
bimbingan dan tauladan yang baik di rumah dan di sekolah atau di lingkungan
masyarakat. Sehingga, pembekalan orang tua dan guru tentang pola asuh dalam
pendidikan perlu menjadi program rutin untuk saling berbagi dan belajar
mendampingi dan mendidik anak.
2.
Key
Student (KS)
Key Student (KS) atau murid kunci ini merupakan konsep yang penulis tawarkan
sebagai salah satu solusi untuk menguatkan pembelajaran di sekolah. Sistem KS
ini dimana murid pilihan dari masing-masing kelas dibimbing khusus untuk lebih
mengasah keilmuannya dan dibekali dengan teknik
presentasi sederhana serta kemampuan bercerita (story telling).
Inisiatif ini dicetuskan guna untuk menjaga motivasi belajar murid agar tidak
kendor disebabkan pengaruh negatif dari lingkungan rumah, sekolah dan dari
teman sejawatnya terutama kondisi di Sumba yang sangat tidak ramah anak.
Mungkin sebagian berpikir ini diskriminasi, namun sebenarnya ini adalah sikap
proporsional dan penyelamatan untuk
mengapresiasi mereka dengan kemampuan intelektual lebih.
Coaching Clinic juga berlaku bagi mereka yang
memiliki kesulitan dalam belajar dan memahami materi di kelas. Untuk proses
bimbingan dapat menggunakan dua arah dengan dua subjek. Maksudnya pembelajaran
dengan sistem dialog-interaktif dan diajarkan oleh dua
subjek berbeda, pertama guru, kedua teman
sejawat yang sudah dibina sebelumnya untuk menerapkan pengalamannya ke
kelompok belajar di kelas. Karena temuan di lapangan murid tidak jarang lebih
mudah memahami materi tertentu ketika teman sejawatnya yang menjelaskan dengan
cara dan bahasa mereka. Murid dengan kecerdasan intelektual lebih menggunakan
sistem ini akan mampu mengimbangi diri dengan kecerdasan emosional.
3.
Guru
Inspiratif
Guru sebagai tenaga pendidik
profesional tidak cukup hanya kompeten pada disiplin ilmu yang diajarkannya
saja, melainkan pendidik juga dituntut memahami kondisi murid di kelas.
Sehingga sosok guru inspiratif, yang mampu mendidik, menjadi teladan yang baik,
dan mampu memahami kondisi kejiwaan murid, serta mampu memotivasi dan memberi
semangat sangat dibutuhkan.
Guru yang inspiratif harus mampu
memberikan layanan pendidikan yang murid butuhkan dengan latar belakang
beragam. Karena setiap individu unik dan berbeda, sehingga cara guru
memperlakukan murid tentu tidak bisa sama atau disamakan antara satu dengan
yang lain karena kompleksitas sifat dan karakater yang heterogen.
Murid yang rajin ke sekolah dan duduk
diam di kelas tidak menjamin mereka memperhatikan dan mampu menyerap materi
yang diajarkan. Belum tentu juga murid yang ramai, over-aktif di kelas identik
dengan murid nakal dan bodoh. Guru yang inspiratif seharusnya mampu memahami
dan mengidentifikasi kondisi murid yang beragam, dan guru harus selalu
menanamkan bahwa “tidak ada murid yang bodoh”. Belum tentu anak yang dicap
bodoh oleh gurunya itu tidak punya kelebihan, bisa jadi anak tersebut mempunyai
kelebihan di bidang lain mungkin bisa menonjol di musik, linguistik,
logis-matematis, antarpribadi, intrapribadi, naturalis, spasial, kinestatik-jasmani maupun perpaduan dari beberapa multiple
intelligences tersebut.
Karena itu, guru sebagai ujung
tombak sekaligus garda terdepan terhadap keberhasilan pendidikan harus memiliki
beberapa kompetensi, baik profesional, pedagogis, personal, sosial dan spiritual.
Selain itu, kompetensi guru bukan hanya menguasai apa yang harus diajarkan,
tapi bagaimana membelajarkan kepada murid sehingga pembelajaran menjadi lebih
menarik, menyenangkan, dan murid menjadi semakin termotivasi ketika sedang
belajar dengan sosok guru yang mampu memberi inspirasi tersebut.
Untuk bisa menjadi guru yang
inspiratif, guru harus mampu memegang prinsip Peduli, Berbagi dan Mengayomi.
Peduli, artinya mampu memberikan perhatian dan memotivasi murid dengan latar
belakang yang berbeda namun perlakuan yang sama tanpa
membeda-bedakan di kelas. Berbagi, artinya guru harus mampu mentransformasikan
ilmu dan nilai baik yang dimiliki kepada murid dengan menciptakan suasan hangat
dalam pembelajaran yang kreatif, menantang dan inovatif. Mengayomi, artinya
guru harus mampu menjadi teladan yang dapat dicontoh dan dipercaya serta mampu
menanamkan karakter yang baik melalui perilaku sehari-hari di sekolah. Dengan
mengenal dan memahami masing-masing murid lebih dalam, guru akan mampu
memformulasikan strategi yang tepat untuk para murid agar mampu meningkatkan
prestasi belajar di sekolah.
Jika semua guru memiliki pola pikir
demikian dan mampu berpegang teguh pada prinsip peduli, berbagi, mengayomi dan
mempunyai kemampuan intelektual, emosional dan spiritual yang baik, maka murid
akan merasa senang dan nyaman berada di kelas. Tidak ada lagi anak bolos
sekolah atau bahkan datang terlambat, tidak ada lagi anak
yang lebih memprioritaskan bekerja dan kudanya dari pada sekolah, karena
sekolah telah menjadi moment berharga dalam hidup mereka yang tidak ingin mereka
lewatkan bahkan kehadiran guru inspiratif tersebut yang selalu dinanti di
kelas. Pada akhirnya guru inspiratif akan mampu mencetak generasi muda
cemerlang berkarakter yang kelak akan menjadi ujung tombak keberhasilan
pendidikan bukan malah menjadi bagian dari persoalan.
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat kita petik sebuah konklusi bahwa sinergitas
multi-peran OMG mampu menjadikan semua komponen inti pendidikan
memaknai perannya masing-masing dalam penguatan pembelajaran. Setiap individu
akan mampu melahirkan simpati dan empati antara satu dengan yang lainnya untuk
keseimbangan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Orang tua akan
belajar bagaimana menjadi guru; guru juga akan belajar memperlakukan murid
sebagaimana anak sendiri; begitu juga murid akan mampu merasakan peran menjadi
seorang guru untuk teman sejawatnya sekaligus orang
tua bagi diri sendiri. Hal ini dilakukan tentunya sesuai porsi masing-masing.
Sehingga dengan implementasi sinergitas multi-peran OMG akan mampu menguatkan pembelajaran
baik di sekolah maupun di rumah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghulayani, Mustofa. 1949. Terjemahan Idhatun
Nasyi`in. (Beirut: Al-Maktabah, Al Ahliyah, 1949).
Badan Pusat Statistik. (2017). Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia. Diperoleh tanggal 10 Oktober 2017, dari https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view /id/1211.
Badan Pusat Statistik Provinsi NTT. (2017). Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Provinsi NTT. Diperoleh tanggal 10 Oktober 2017, dari https://ntt.bps.go.id /linkTableDinamis /view/id/69.
Daryati, Elia dan Anna Farida. 2014. Parenting with Heart,
Menumbuhkan Anak dengan Hati. Bandung: Kaifa. Cetakan I. hlm. 13.
Ilmu Pendidikan. (2014, 15 Oktober). Hak dan Kewajiban Profesi Seorang Guru. Diperoleh tanggal 9 Oktober
2017, dari http://ilmu-pendidikan.net/profesi-kependidikan/guru/hak-dan-kewajiban-profesi-seorang-guru
Kasali, Rhenald. 2014. AGILITY: Bukan Singa yang Mengembik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kompas.com. (2017, 12 Juli). Nihi Sumba Island Kembali Sabet
Gelar Hotel Terbaik di Dunia. Diperoleh tanggal 11 Oktober 2017, dari http://travel.kompas.com /read/2017/07/12 /180400327/nihi.sumba.island.kembali.sabet.gelar.hotel.terbaik.di.dunia
Lindgren, Henry Clay.
1960. Educational
Psychology in the Classroom, Modern Asia Edition.
(New York: John Wiley & Sons, INC, 1960).
Megawangi, Ratna. 2007.Character
Parenting Space, Menjadi Orang Tua Cerdas untuk Membangkitkan Karakter Anak.
(Bandung: Mizan Media Utama, 2007).
Naim,
Naginun. 2010. Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cetakan I.
Komentar
Posting Komentar