Senin, 16 Oktober 2017

Menguak Stereotip Gender dalam Refleksi Nilai Nasionalisme

Heroisme lekat terasa dalam moment sejarah perjuangan Indonesia ketika kita flashback 72 tahun silam. Pertumpahan darah dan perjuangan pantang menyerah merebut kemerdakaan dan martabat bangsa menjadi tujuan mulia para pemuda dan pejuang terhormat negera kita. Setiap tetes darah dan keringat yang menorehkan makna ghirroh arti sebuah perjuangan dan pengorbanan untuk menjemput kebebasan di ambang asa, yang dewasa ini mulai pudar tercermin dalam jiwa dan raga pemuda-pemudi penerus estafet kepemimpinan bangsa Indonesia.
Proses kemerdakaan tidak pernah luput dari keterlibatan dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat termasuk perempuan, yang dipersepsikan sebagai kaum lemah (subordinate group). Masih segar dalam ingatan nama pahlawan wanita yang dengan gigih memperjuangan nasib bangsa dan perempuan memproklamirkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan yang dalam dalam istilah popular kita sebut “Women’s Equality and Empowerment”. Ya, mereka adalah Ibu Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu dsb. Para aktivis perempuan tersebut memperjuangkan nasib kaum mereka dari penindasan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, banyak persepsi dan prasangka tanpa sebuah analisa makna sebenarnya dalam realita. Hal ini yang kemudian disebut Gender Stereotype.
Membahas kesetaraan gender, terlintas dalam benak kita konsep tentang persamaan antar laki-laki dan wanita. Yang perlu diingat dalam konsepsi dan persepsi kita adalah bahwa  Equality IS NOT Sameness yang artinya kesetaraan bukanlah kesamaan. Sering salah penafsiran pada masyarakat kita bahwa emansipasi wanita hanyalah teori bualan belaka yang tidak akan pernah terjadi. Gender bukan konsep tentang laki-laki dan wanita secara terpisah melainkan merupakan hubungan antara keduanya. Gender juga berperan dalam menentukan hubungan dan peran keduanya di masyarakat. Gender bukan konsepsi tentang kesamaan yang banyak masyarakat kita berpendapat jika laki-laki mampu mengangkat beban 50kg maka wanita pun harus mampu melakukan hal yang sama. Persepsi ini totally incorrect. Sehingga perlu ada penjernihan pemahaman dari sebuah stereotype yang mendeskriminasi perempuan dalam konstruksi sosial masyarakat.
Menguak gender stereotype merupakan langkah awal untuk menciptkan hubungan harmonis antara laki-laki dan perempuan. Karena gender stereotype acapkali dijadikan topeng dalam menjustifikasi sebuah perlakuan diskriminatif di masyarakat kita oleh mereka yang berkepentingan. Jika kita analisa bagaimana setiap sudut proses kehidupan kita, baik di era pra-kemerdekaan sampai dengan saat ini, yang katanya, era reformasi tanpa keberadaan salah satu gender (laki-laki hidup tanpa perempuan dan begitu juga sebaliknya). Akankah siklus kehidupan sosial berjalan dengan normal? Anda tahu jawanbanya pasti TIDAK. Bagaimana mungkin kita bisa mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan akan suatu hal, dan bagaimana mungkin kita hidup tanpa saling berdampingan. Oleh karenanya, gender equality tidak bisa disamaartikan dengan gender sameness, karena keduanya merupakan variable yang berbeda.
Buah harapan dari gender equality adalah kesetaraan hak, kesetaraan akses kegiatan sosial, kesetaraan akses kontrol dalam pembuatan kebijakan dan pembangunan, kesetaraan peran, status dan nilai, dan kesetaraan manfaat dari pembangunan bangsa. Sedangkan gender inequality dapat menyebabkan GAPS (baca: jurang) antar laki-laki dan perempuan. Gender gaps meliputi perbedaan dalam hak, control, kepemilikan, posisi dan kesempatan. Sehingga dapat menciptakan konflik dan kesenjangan sosial yang berujung disharmonisasi hubungna sosial antara laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya muncul pertanyaan, apa kemudian korelasi gender stereotype dengan refleksi nilai nasionalisme? Korelasinya jelas setelah kita menguak makna gender equality untuk  memberikan keleluasaan dan meningkatkan kualitas diri masing-masing gender tanpa mengorbankan salah satu diantaranya dan pemahaman bahwa gender juga membawa bersamanya perubahan dalam aspek sikap, tingkah laku, peran dan kewajiban baik di rumah, tempat kerja dan di masyarakat. Berangkat dari persepsi dan pemahaman yang benar, maka kita mampu merefleksikan nilai nasionalisme secara objektif terkait dengan peran dan perjuangan laki-laki dan perempuan di masa penjajahan silam.
Refleksi nilai nasionalisme dalam individu masyarakat kita dewasa ini, terutama para pemuda-pemudi bangsa Indonesia sudah mulai pudar. Bukan karena tidak adanya kesadaran ataupun ketidaktahuan melainkan disebabkan besarnya keengganan dan sikap apatis yang menjadi epidemic bangsa kita. Sikap tidak peduli dan antipati menjadi pemicu utama mengapa nilai-nilai nasionalisme itu terkikis bahkan hilang dalam diri kita, generasi pejuang bangsa Indonesia.
Peperangan dan pertumpahan darah melawan penjajah mungkin telah berakhir 69 tahun lalu pasca kemerdekaan. Namun perjuangan dan pengorbanan tidak boleh berhenti disitu, namun sebagai kader bangsa dan Negara Indonesia tercinta, kita sebagai pemuda wajib untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan prestasi, kompetensi dan semangat patriotism serta nasionalisme melawan intervensi negera asing dan bersaing mempersembahkan yang terbaik. Fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan), sekarang tidak ada lagi alasan untuk berhenti berjuang dan menorehkan prestasi untuk negeri tercinta ini, demi termanifestasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Refleksi nilai nasionalisme harus senantiasa bersemayam dalam denyut nadi dan setiap hembusan nafas kita, karena dengan nasionalisme kita akan mampu menjadi Negara yang kuat, terhormat dan bermartabat untuk mempertahankan NKRI.

Ingat, pemuda-pemudi generasi penerus bangsa Indonesia, kesampingkan gender stereotype, tidak boleh ada lagi diskriminasi dan dikotomi, karena kita satu untuk Negeri Pertiwi. Bhineka Tunggal Ika, walaupun kita berbeda namun seyogyanya kita satu kesatuan yakni NKRI harga Mati.

Sabtu, 14 Oktober 2017

SINERGITAS MULTI-PERAN “OMG” (ORANG TUA, MURID DAN GURU) DALAM PENGUATAN PEMBELAJARAN

                                                          
Sosok Kakak Perempuan, Istri, Ibu dan Guru yang Kuat. (doc/pribadi)

Mujiburrohman


Sumba Barat, NTT merupakan bagian timur dari Indonesia dengan segudang keindahan potensi alam yang memanjakan mata yang menatapnya, tak heran jika Sumba Barat dengan Nihiwatu-nya mampu meraih penghargaan dunia sebagai Hotel dan Resort Terbaik pada tahun 2016 lalu dan tahun 2017 versi Majalah Travel+Leisure. Namun ironisnya prestasi itu berbanding terbalik dengan fakta Indeks Pembanguan Manusia (IPM) yang ada di provinsi NTT sebesar 63,13 masih berada di bawah rata-rata Nasional yakni 70,18 pada tahun 2016. Hal ini tidak lain dipengaruhi oleh tidak meratanya akses terhadap kualitas pendidikan (quality education).
Menurut hemat penulis, permasalahan tersebut khususnya di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) disebabkan oleh minimnya fasilitas, rendahnya SDM pendidik dan lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, sehingga menjadi bomb waktu yang suatu saat bisa meledak dan memorak-porandakan pendidikan kita lebih buruk lagi.
Keluarga penulis tinggal di Sumba Barat selama kurang lebih 12 tahun dan mengajar di sekolah dasar setempat. Permasalahan yang senantiasa hadir menjadi rutinitas menu harian di sekolah itu adalah murid yang nakal, sulit diatur dan berkata kasar, walau berbagai macam treatment diberikan namun hasilnya kurang signifikan.
Suatu pagi di sekolah, kakak penulis mendapati muridnya, Junaidi, yang selalu datang terlambat. Kakak penulis pun mendatanginya dan mengajak Junaidi dengan baju lusuh dan rambut kusut karena tidak disisir itu duduk di kursi guru piket samping kantor. “Jun, kenapa kamu setiap hari datang terlambat? Padahal Bu guru sudah kasih hukuman dan nasehat, tapi kamu masih tetap saja datang terlambat, kalau sudah waktu pulang kamu pasti paling awal”, tanya kakak penulis dengan nada sedikit jengkel. Dengan kepala tertunduk Si Junaidi menjawab “Saya setiap pagi masih membantu orang tua jualan di pasar Bu, dan sepulang sekolah saya langsung pulang untuk merawat kuda kesayangan di rumah”, terangnya pada kakak perempuan penulis. Ya, karena memang Sumba terkenal dengan kuda-nya yang kuat dan gagah, sehingga wajar Kuda menjadi binatang peliharaan idola masyarakat setempat. Penulis kemudian berpikir bahwa ‘Kuda’ dan ‘Bekerja’ jauh lebih penting dari pada sekolah menurut kebanyakan masyarakat di Sumba. Persoalan ini yang kemudian menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk mencari strategi efektif menanggulangi persoalaan yang tengah dihadapi.
Banyak dari guru di Indonesia yang berasumsi bahwa tugas guru masa kini hanya mengajar di kelas saja tanpa memikirkan bagaimana sikap murid di sekolah apalagi di rumah terutama semenjak diberlakukannya peraturan perlindungan anak oleh KPAI yang acapkali disalahgunakan oleh masyarakat kita. Beragam alasan yang dilontarkan oleh para pendidik, ada yang karena takut dituntut secara hukum, ganti rugi materi dan lain sebagainya. Kasus ini pernah menimpa kakak perempuan penulis pada tahun pertama mengajar yang memukul salah satu muridnya karena berperilaku di luar batas wajar. Akhirnya wali murid yang bersangkutan melaporkan ke pihak berwajib, alhasil kakak penulis pun dipolisikan dan harus menjalani wajib lapor selama 3 x 24 jam, ada juga guru yang dipenjarakan bahkan dipecat dari sekolah, hal ini kemudian membawa trauma tersendiri bagi guru yang bersangkutan. Miris, ironis dan sangat memprihatinkan melihat kondisi pendidikan di Sumba dan penulis yakin hal serupa juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Ini terjadi karena absennya sinergitas yang intensif antara pihak sekolah dan orang tua, sehingga terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat bahkan pemerintah tanpa mengetahui dan mengidentifikasi akar permasalahan sebenarnya.
Problematika pendidikan akan selalu datang menghantam namun semangat juang tak boleh padam. Menjadi guru adalah tugas mulia, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang pada intinya guru bertanggung jawab untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan juga dialogis serta berkomitmen secara professional meningkatkan mutu pendidikan.Karena kepada siapa lagi kita pasrahkan masa depan negeri ibu pertiwi ini kalau bukan kepada mereka para pendidik bangsa dan kita semua sebagai elemen integratif masyarakat.
Implikasi dari persoalan yang dihadapai di Sumba dan di banyak daerah 3T lainnya bisa menjadi depiksi nyata tentang protret pendidikan di Indonesia dengan timpangnya kualitas pendidikan yang ada. Menjadi seorang pendidik tidak cukup hanya dengan jiwa pengabdian tanpa dibekali dengan kemampuan yang baik dan keinginan kuat membenahi masyarakat. Oleh karena itu, implementasi sinergitas multi-peran OMG menjadi oase di tengah gersangnya kualitas pendidikan, karena gerakan sinergis mampu menguatkan pembelajaran di sekolah. Komponen penting tersebut dapat kita intrepretasikan ke dalam tiga poin pokok.
1.    Pola Asuh (Parenting)
Parenting adalah pekerjaan dan keterampilan orang tua dalam mengasuh anak. Dalam artikel ini titik tekannya adalah bagaimana orang tua dan guru memiliki kemampuan pola asuh yang baik terhadap anak baik di rumah maupun di sekolah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mustofa al-Ghulayani bahwa “Pendidikan (Tarbiyah) adalah menanamkan akhlak (budi pekerti) dalam jiwa murid”. Sehingga dengan penanaman karakter dan akhlak mulia akan dengan sendirinya mampu mengubah perilaku dan pola belajar anak di rumah dan di sekolah. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan pertama seorang anak berawal dari rumah yaitu orang tua. Seirama dengan pernyataan Henry Clay Lindgren yang menyebutkan bahwa:
“The family, not the school, provides the first educational experiences beginning in infancy, with the attempt to guide and direct the child-to train him”.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat dipahami bahwa parenting bukan sekedar merujuk pada suasana kegiatan belajar mengajar yang ansih menitikberatkan sisi kognitif anak (transfer of knowledge) melainkan lebih pada kehangatan dan emosi yang dirasakan dalam sebuah proses pendidikan (transfer of values). Sehingga ikatan emosional yang erat antara orang tua dan anak, guru dan murid akan terjalin. Dengan harapan apa yang diberikan kepada anak (pengasuhan) akan berdampak positif dan progresif bagi kehidupannya terutama bagi agama, diri, bangsa, dan juga negaranya.
Tugas utama mencerdaskan anak tetaplah ada pada orang tua meskipun anak telah dimasukkan ke sekolah. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak sangatlah penting dalam mengembangkan potensi anak. Proses penanaman aqidah dan nilai-nilai luhur berada di tangan orang tua karena dalam hal ini orang tua yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Namun dewasa ini konteks pendidikan kita berbeda, dimana banyak orang tua nikah muda (early marriage) karena kecelakaan (marriage by accident) atau kurang terdidik sehingga berpengaruh terhadap kualitas anak, karena secara kematangan tipe kedua orang tua di atas belum dewasa (immature). Sehingga peran guru bersama sekolah memberikan bimbingan sederhana namun substantif tentang parenting dan multiple intelligences anak mutlak diperlukan, harapannya orang tua mampu dan mau memperbaiki cara mendidik anak demi perkembangannya.
Sebagai makhluk psycho-physics neutral, manusia memiliki kemandirian (self-esteem) jasmaniah dan rohaniah yang menurut Prof. Rhenald Kasali manusia butuh Agility (ketangkasan) dalam mengarungi samudera kehidupan. Di dalam kemandiriannya itu manusia mempunyai potensi dasar sebagai cikal-bakal yang tumbuh dan selalu berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan itu memerlukan pendidikan dan bimbingan. Rhenald Kasali juga mengkomparasikan konteks dulu dengan konteks kekinian bahwa dulu mereka yang paling kuat (the fittest) mampu meraih kesuksesan namun saat ini yang paling tanggap terhadap perubahan yang bisa meraih kesuksesan (the fastest).
Selain itu, menurut Aristotles, manusia berfungsi sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang memiliki naluri untuk hidup berdampingan dengan masyarakat. Manusia hidup tidak hanya sebagai makhluk individu, melainkan juga makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan kelompoknya serta lingkungan sekitar.
Pada fase anak-anak, mereka masih membutuhkan bimbingan dan pengawasan dari orang tua dan guru supaya mampu membentuk kepribadian yang baik dan akhlak mulia. Karena anak-anak ibarat gelombang radio dan orang tua itu bukan hanya sekedar penangkap gelombang melainkan juga pemancarnya. Maka dari itu, orang tua dan guru harus memberikan bimbingan dan tauladan yang baik di rumah dan di sekolah atau di lingkungan masyarakat. Sehingga, pembekalan orang tua dan guru tentang pola asuh dalam pendidikan perlu menjadi program rutin untuk saling berbagi dan belajar mendampingi dan mendidik anak.

2.    Key Student (KS)
Key Student (KS) atau murid kunci ini merupakan konsep yang penulis tawarkan sebagai salah satu solusi untuk menguatkan pembelajaran di sekolah. Sistem KS ini dimana murid pilihan dari masing-masing kelas dibimbing khusus untuk lebih mengasah keilmuannya dan dibekali dengan teknik presentasi sederhana serta kemampuan bercerita (story telling). Inisiatif ini dicetuskan guna untuk menjaga motivasi belajar murid agar tidak kendor disebabkan pengaruh negatif dari lingkungan rumah, sekolah dan dari teman sejawatnya terutama kondisi di Sumba yang sangat tidak ramah anak. Mungkin sebagian berpikir ini diskriminasi, namun sebenarnya ini adalah sikap proporsional dan penyelamatan untuk mengapresiasi mereka dengan kemampuan intelektual lebih.
Coaching Clinic juga berlaku bagi mereka yang memiliki kesulitan dalam belajar dan memahami materi di kelas. Untuk proses bimbingan dapat menggunakan dua arah dengan dua subjek. Maksudnya pembelajaran dengan sistem dialog-interaktif dan diajarkan oleh dua subjek berbeda, pertama guru, kedua teman sejawat yang sudah dibina sebelumnya untuk menerapkan pengalamannya ke kelompok belajar di kelas. Karena temuan di lapangan murid tidak jarang lebih mudah memahami materi tertentu ketika teman sejawatnya yang menjelaskan dengan cara dan bahasa mereka. Murid dengan kecerdasan intelektual lebih menggunakan sistem ini akan mampu mengimbangi diri dengan kecerdasan emosional.

3.    Guru Inspiratif
Guru sebagai tenaga pendidik profesional tidak cukup hanya kompeten pada disiplin ilmu yang diajarkannya saja, melainkan pendidik juga dituntut memahami kondisi murid di kelas. Sehingga sosok guru inspiratif, yang mampu mendidik, menjadi teladan yang baik, dan mampu memahami kondisi kejiwaan murid, serta mampu memotivasi dan memberi semangat sangat dibutuhkan.
Guru yang inspiratif harus mampu memberikan layanan pendidikan yang murid butuhkan dengan latar belakang beragam. Karena setiap individu unik dan berbeda, sehingga cara guru memperlakukan murid tentu tidak bisa sama atau disamakan antara satu dengan yang lain karena kompleksitas sifat dan karakater yang heterogen.
Murid yang rajin ke sekolah dan duduk diam di kelas tidak menjamin mereka memperhatikan dan mampu menyerap materi yang diajarkan. Belum tentu juga murid yang ramai, over-aktif di kelas identik dengan murid nakal dan bodoh. Guru yang inspiratif seharusnya mampu memahami dan mengidentifikasi kondisi murid yang beragam, dan guru harus selalu menanamkan bahwa “tidak ada murid yang bodoh”. Belum tentu anak yang dicap bodoh oleh gurunya itu tidak punya kelebihan, bisa jadi anak tersebut mempunyai kelebihan di bidang lain mungkin bisa menonjol di musik, linguistik, logis-matematis, antarpribadi, intrapribadi, naturalis, spasial, kinestatik-jasmani  maupun perpaduan dari beberapa multiple intelligences tersebut.
Karena itu, guru sebagai ujung tombak sekaligus garda terdepan terhadap keberhasilan pendidikan harus memiliki beberapa kompetensi, baik profesional, pedagogis, personal, sosial dan spiritual. Selain itu, kompetensi guru bukan hanya menguasai apa yang harus diajarkan, tapi bagaimana membelajarkan kepada murid sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik, menyenangkan, dan murid menjadi semakin termotivasi ketika sedang belajar dengan sosok guru yang mampu memberi inspirasi tersebut.
Untuk bisa menjadi guru yang inspiratif, guru harus mampu memegang prinsip Peduli, Berbagi dan Mengayomi. Peduli, artinya mampu memberikan perhatian dan memotivasi murid dengan latar belakang yang berbeda namun perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan di kelas. Berbagi, artinya guru harus mampu mentransformasikan ilmu dan nilai baik yang dimiliki kepada murid dengan menciptakan suasan hangat dalam pembelajaran yang kreatif, menantang dan inovatif. Mengayomi, artinya guru harus mampu menjadi teladan yang dapat dicontoh dan dipercaya serta mampu menanamkan karakter yang baik melalui perilaku sehari-hari di sekolah. Dengan mengenal dan memahami masing-masing murid lebih dalam, guru akan mampu memformulasikan strategi yang tepat untuk para murid agar mampu meningkatkan prestasi belajar di sekolah.
Jika semua guru memiliki pola pikir demikian dan mampu berpegang teguh pada prinsip peduli, berbagi, mengayomi dan mempunyai kemampuan intelektual, emosional dan spiritual yang baik, maka murid akan merasa senang dan nyaman berada di kelas. Tidak ada lagi anak bolos sekolah atau bahkan datang terlambat, tidak ada lagi anak yang lebih memprioritaskan bekerja dan kudanya dari pada sekolah, karena sekolah telah menjadi moment berharga dalam hidup mereka yang tidak ingin mereka lewatkan bahkan kehadiran guru inspiratif tersebut yang selalu dinanti di kelas. Pada akhirnya guru inspiratif akan mampu mencetak generasi muda cemerlang berkarakter yang kelak akan menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan bukan malah menjadi bagian dari persoalan.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat kita petik sebuah konklusi bahwa sinergitas multi-peran OMG mampu menjadikan semua komponen inti pendidikan memaknai perannya masing-masing dalam penguatan pembelajaran. Setiap individu akan mampu melahirkan simpati dan empati antara satu dengan yang lainnya untuk keseimbangan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Orang tua akan belajar bagaimana menjadi guru; guru juga akan belajar memperlakukan murid sebagaimana anak sendiri; begitu juga murid akan mampu merasakan peran menjadi seorang guru untuk teman sejawatnya sekaligus orang tua bagi diri sendiri. Hal ini dilakukan tentunya sesuai porsi masing-masing. Sehingga dengan implementasi sinergitas multi-peran OMG akan mampu menguatkan pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghulayani, Mustofa. 1949. Terjemahan Idhatun Nasyi`in. (Beirut: Al-Maktabah, Al Ahliyah, 1949).
Badan Pusat Statistik. (2017). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Diperoleh tanggal 10 Oktober 2017, dari  https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view /id/1211.
Badan Pusat Statistik Provinsi NTT. (2017). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi NTT. Diperoleh tanggal 10 Oktober 2017, dari https://ntt.bps.go.id /linkTableDinamis /view/id/69.
Daryati, Elia dan Anna Farida. 2014. Parenting with Heart, Menumbuhkan Anak dengan Hati. Bandung: Kaifa. Cetakan I. hlm. 13.
Ilmu Pendidikan. (2014, 15 Oktober). Hak dan Kewajiban Profesi Seorang Guru. Diperoleh tanggal 9 Oktober 2017, dari  http://ilmu-pendidikan.net/profesi-kependidikan/guru/hak-dan-kewajiban-profesi-seorang-guru
Kasali, Rhenald. 2014. AGILITY: Bukan Singa yang Mengembik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kompas.com. (2017, 12 Juli). Nihi Sumba Island Kembali Sabet Gelar Hotel Terbaik di Dunia. Diperoleh tanggal 11 Oktober 2017, dari http://travel.kompas.com /read/2017/07/12 /180400327/nihi.sumba.island.kembali.sabet.gelar.hotel.terbaik.di.dunia
Lindgren, Henry Clay. 1960. Educational Psychology in the Classroom, Modern Asia Edition. (New York: John Wiley & Sons, INC, 1960).
Megawangi, Ratna. 2007.Character Parenting Space, Menjadi Orang Tua Cerdas untuk Membangkitkan Karakter Anak. (Bandung: Mizan Media Utama, 2007).
Naim, Naginun. 2010. Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan I. 

Rabu, 31 Mei 2017

Trailer Short Movie - Pijar Merah Putih (The Glow of The Red and White)





Bismillah... Trailer Short Movie - Pijar Merah Putih (The Glow of The Red and White)



A Film by Students of SMK Nurul Jadid



I am a proud teacher

Kamis, 04 Mei 2017

SPEAKING CLASS (NEC Students' Conversation) | LPBA Nurul Jadid Paiton Pr...


I AM A PROUD TEACHER

To me walking in this life is a blessed moment, moreover as a teacher, the happy thing is when we find out the progressive change of the students. I know it might not be a perfect result but one thing you guys should know that it is the best effort we together could achieve. We are committed to improve and elevate to the next level of better English speaking skill.

They are living in a simple, they learn with limited facility, But as teacher I keep telling them to work harder and climb higher beyond our limit. Be limitless and Break the wall that separate Girls from more successful stage. Till One day you guys (all my students, become unstoppable).

I love you my students and will always become proud of you, no matter what you will become in the future.

#MujibAdventures

Minggu, 30 April 2017

HANG OUT WITH FRIENDS IN NEW YORK | SHORT TRIP 2016




NEW YORK CITY IS MORE THAN JUST A LIFE

This first trip I did on the occasion of YSEALI Professional Fellowship 2016 Program, after 4 weeks project we had like 3 days off that we decided to escape from Hotel to NYC. We must be Smart Thinker and Traveler having this idea even feeling tired we just couldn't waste our time and opportunity to explore USA as much as possible. Finally we did it. It was fun and awesome short trip even exhausting but all those sacrifices were paid off.

Here some explanations the visited spots I went. 

New York City is larger than life: in population, in square feet (think of the five boroughs), in culture and food, in arts and entertainment. Visitors to New York have the world at their fingertips, from Uptown to Downtown and beyond. There’s so much to do and see, no two visits will ever be quite the same. Whether it’s your first visit to Gotham or your fifteenth, these top things to do in New York capture the energy, spirit and style of the city.

The first spot we visited was... Guess What??? Yes

[1] STATUE OF LIBERTY
A stirring symbol of freedom, the Statue of Liberty has been a beacon in New York Harbor since 1886. A gift from the people of France, the Statue was designed by Frédéric Auguste Bartholdi and built by Gustave Eiffel.

What to Do
Once on Liberty Island, free National Park Service tours fill in the details about the copper-sheeted masterpiece. For an extra fee, upgrade to a Crown Ticket and go into the statue itself.

What to See
With her torch ablaze more than 300 feet (91.5 meters) above the ground, "Liberty Enlightening the World" (the statue’s official name) is only accessible via commercial ferries, which offer amazing vantage points for the perfect vacation snapshot.

The next one was...

[2] 9/11 Memorial (GROUND ZERO)

The 9/11 Memorial honors the thousands of people killed in the attacks on September 11, 2001 and those who died in the World Trade Center bombing in 1993.

What to Do
Visit the twin reflecting pools sitting in the footprints of the Twin Towers that are each nearly an acre in size. Take time to wander around the 110,000-square feet of exhibition space in the museum. Some large artifacts include the "Survivor's Stairs" and help tell the story of what happened on that day.

What to See
Surrounding the pools are the names of every person who died in the attacks inscribed in bronze. You'll also see the "Survivor Tree," a callery pear tree that was severely damaged at Ground Zero but was rehabilitated and now stands as a symbol of resilience, survival and rebirth. Seeing this memorial for yourself can have a profound effect on your visit to New York.

[3] Central Park

Thought of as the city’s playground, Central Park covers 843 acres (341 hectares) and is located in the heart of Manhattan.

What to Do
Visitors can walk, run, ride bicycles, play chess and checkers, ice skate, and even fish. Designated quiet zones accommodate those seeking tranquility, while the 21 playgrounds are a boon for families with children who need to move.

What to See
Offering a welcome respite from the hustle and bustle of the city streets that surround it on all sides, the park is a refreshing year-round sanctuary. Central Park has been featured in more than 300 different films. Can you spot the different landmarks used in various films?

[4] Times Square

Located in Midtown Manhattan at the intersection of Broadway and Seventh Avenue, Times Square has often been referred to as The Crossroads of the World. Full of bright lights and billboards, it also serves as the hub of the Theater District.

What to Do
On New Year’s Eve, a million people swarm the square, waiting hours to watch the famed ball drop. Daily, thousands come in search of half-price Broadway show tickets, to people watch, or just stand, jaws dropped, to admire the 37-foot-high (11.3 meters) NASDAQ sign — the largest LED sign in the world.

What to See
Neon-gazing became even safer for pedestrians in 2009, when the heart of Times Square — Broadway, between 42nd and 47th streets — was closed to vehicular traffic.

[5] Brooklyn Bridge

Suspended over the East River, the Brooklyn Bridge connects Manhattan to Brooklyn. Designated a national historic landmark in 1964, this engineering feat is one of America’s most famous bridges and one of New Yorks greatest attractions.

What to Do
Walk on the elevated pedestrian path without worrying about the cars whizzing by. Enjoy the remarkable skyline view while you're there. Millions of people visit the Brooklyn Bridge every year simply to see the gleaming river beneath Manhattan skyscrapers.

What to See
Probably the most prominent features of the Brooklyn Bridge are the large towers to which the web of cables are attached. The magnificent Gothic arches stand tall above the heavy traffic flow. With great views of the river, the bridge’s strong architecture, and downtown Manhattan, you can't miss out on this wonderfully free opportunity.

ABOUT HALAL FOOD

The first time I arrived I thought it might be hard to find Halal food in NY, yes it may be right as long as you don't explore, Alhamdulillah I was much helped with my MuslimPro Application to identify where Halal Food restaurant or Halal Food Booth. Finally at Central Park I found a lot of Halal Food Booths with Islamic Music played. That was amazing, most of the sellers are from Middle East. I was so much Thankful to God Allah that I finally could eat Halal Food after starving with no doubt. 

Kamis, 20 April 2017

Profil Singkat BPC HIPMI Kabupaten Probolinggo



Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) didirikan pada tanggal 10 Juni 1972. Pendirian organisasi ini dilandasi semangat untuk menumbuhkan wirausaha di kalangan pemuda, karena pada saat itu tidak banyak kaum muda yang bercita – cita menjadi pengusaha.
Para pendiri yang rata – rata merupakan pengusaha pemula yang terdiri dari Drs. Abdul Latief, Ir. Siswono Yudo Husodo, Teu ku Sj ahrul, Datuk Hakim Thantawi, Badar Tando, Irawan Djajaatmadja, SH , Hari Sjamsudin Mangaan, Pontjo Sutowo, dan Ir. Mahdi Diah.
Pada saat itu anggapan yang berkembang di masyarakat menempatkan kelompok pengusaha pada strata yang sangat rendah sehingga sebagian besar anak muda terutama kalangan intelektual lebih memilih profesi lain seperti birokrat, TNI / POLRI dan sebagainya.
Dalam perjalanannya sampai terjadinya krisis ekonomi di tahun 1998, HIPMI telah sukses mencetak kaderisasi wirausaha, dengan tampilnya tokoh – tokoh muda dalam percaturan dunia usaha nasional maupun internasional. Keadaan itu kemudian dapat merubah pandangan masyarakat terhadap profesi pengusaha pada posisi terhormat.
Pada Era Reformasi, terutama pasca krisis ekonomi, di tuntut adanya perubahan visi, dan misi organisasi. HIPMI senantiasa adaptif dengan paradigma baru yakni menjadikan Usaha Kecil – Menengah sebagai pilar utama dan lokomotif pembangunan ekonomi nasional.
HIPMI memiliki motto Pengusaha Pejuang-Pejuang Pengusaha yang bermakna bahwa kader- kader HIPMI tidak saja diharapkan menjadi pengusaha nasional yang tangguh tetapi juga menjadi pengusaha yang berwawasan kebangsaan dan memiliki kepedulian terhadap tuntutan nurani rakyat.
Visi dan Misi HIPMI adalah memakmurkan seluruh rakyat Indonesia Raya.
HIPMI telah membulatkan tekad untuk menumbuhkan klaster pengusaha menengah baru yang benilai tambah, bersinergi dan bermartabat. Klaster pengusaha menengah baru ini adalah sebuah klaster yang berisi pengusaha-pengusaha yang memiliki kemampuan value creation, inovatif, profesional, fokus dan memegang nilai-nilai normatif dalam menjalankan usahanya. Klaster ini lahir dari proses tempaan HIPMI sehingga menjadi pengusaha matang dan tangguh – Pengusaha yang naik kelas dari pengusaha kecil menjadi menengah dan dari pengusaha lokal menjadi nasional.

Jumat, 07 April 2017

Teaser Video - 12th Anniversary Ceremony of SMK Nurul Jadid Paiton Probo...





Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke 12 SMK Nurul Jadid Paiton Probolinggo menghelat upacara bendera yang bertujuan untuk membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme peserta didik agar terus berjuang dan menorehkan prestasi mengharumkan almamater dan negeri ibu pertiwi.

Semoga dengan bertambahnya usia menjadikan pemicu dan pemacu segenap masyarakat SMK Nurul Jadid senantiasa berbenah dan berupaya mempersembahkan yang terbaik.

SMK Bisa! SMK Nurul Jadid Jaya

Paiton, 07 April 2017