Langsung ke konten utama

BIMBEL VS SEKOLAH (ONLINE VS OFFLINE) DI TENGAH PANDEMI COVID-19 DAN GEBRAKAN MERDEKA BELAJAR

 

Gambar ilustrasi pembelajaran jarak jauh 

Pengahupusan Ujian Nasional (UN) yang dimulai tahun 2021 masih menyisakan tanda tanya dan keraguan di kalangan pelaku pendidikan baik dari pendidik (guru) maupun peserta didik. Ujian Nasional (UN) akan digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) dan Survei Karakater yang terdiri dari kemampuan literasi, numerasi dan penguatan pendidikan karakter dilakukan di tengah jenjang sekolah (4, 8, 11). Sebuah konsep yang menarik namun apakah efektif dan ada jaminan lebih baik?

Dunia pendidikan Indonesia dewasa ini sedang dalam ikhtiar perbaikan guna peningkatan layanan pendidikan yang berkualitas (quality education) dan penyamarataan kualitas pendidikan ke seluruh pelosok nusantara sebagaimana yang diamanahkan oleh Presiden Joko Widodo yaitu Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan seiring dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Penghapusan UN adalah salah satu gebrakan Menteri Pendididikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia, Mas Nadiem Anwar Makarim dalam program Merdeka Belajar.

Konsep Merdeka Belajar menurut hemat penulis dapat dipersepsikan sebagai upaya untuk menciptakan suatu lingkungan belajar yang bebas untuk berekspresi dalam peningkatakan kualitas layanan pendidikan berdasarkan potensi lokal yang ada dan yang tidak kalah penting adalah bebas dari berbagai hambatan terutama tekanan psikologis. Terdapat empat gebrakan dalam program Merdeka Belajar yaitu pertama, sejak tahun 2020 USBN diselenggarakan di sekolah dalam bentuk tes tertulis atau bentuk lainnya seperti portofolio, karya tulis ilmiah dsb., kedua, mulai 2021 menggati UN dengan Asesmen Kompetensi Minimal dan Survei Karakter, ketiga, Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dimana guru diberi kebebasan dalam menentukan format RPP sederhana dengan tiga komponen penting Tujuan Pembelajaran, Kegiatan Pembelajaran, dan Asesmen, dan yang keempat, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem Zonasi yang lebih fleksibel yaitu Jalur Zonasi (50%), Afirmasi (15%), Perpindahan maks. (5%), dan jalur prestasi (0-30%) menyesuaikan kondisi sekolah masing-masing.

Dengan kebijakan baru ini, menimbulkan keresahan kepada sebagian kalangan terutama pelaku bisnis Bimbingan Belajar (Bimbel) karena banyak wali murid yang mendaftarkan putra-putrinya untuk ikut bimbingan belajar supaya mendapatkan materi tambahan dalam menyiapkan anaknya menghadapi UN. Meskipun tidak semua asumsi ini benar adanya, karena tidak sedikit orang tua yang mengirimkan anaknya ke lembaga layanan Bimbel ansih untuk memperkuat keilmuan dan menambah pengalaman belajar si anak agar memiliki nilai lebih yang tentunya untuk kebaikan anak itu sendiri. Sehingga semuanya tergantung bagaimana perspektif kita melihat sebuah fenomena ini. Eksistensi Bimbel di tengah gebrakan program Merdeka Belajar bisa jadi menjadi hal yang negative bagi mereka yang kurang lihai membaca peluang di masa depan karena bertujuan sebatas mendapatkan nilai sempurna ketika UN, namun bagi mereka yang mampu membaca peluang akan memanfaatkan Bimbel sebagai tambahan bekal si anak untuk meningkatkan kualitas diri dari bidang akademik maupun non-akademik.

 


Gambar ilustrasi komparasi alur daring vs luring

Di tengah pandemi COVID-19 dewasa ini, banyak sekali alternatif Bimbel yang semula dilaksanakan secara luring (offline) saat ini hijrah ke daring (online) karena harus mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Pertanyaannya apakah bimbel demikian efektif? Berbicara efektivitas pembelajaran offline dan online masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Semisal bagi mereka yang terkendala jarak dan waktu apalagi di tengah pandemi maka Bimbel online menjadi pilihan terbaik karena lebih fleksibel dan kita bebas memilih layanan bimbel online terbaik di Indonesia bahkan luar negeri sesuai dengan kemampuan masing-masing, namun kendala yang kerap dihadapi adalah ketersediaan fasilitas dan infrastruktur, karena masih banyak daerah di Indonesia yang masyarakatnya tidak memiliki layanan listrik apalagi jaringan Internet. Jika kita memilih Bimbel offline atau langsung tatap muka dengan tutor kita lebih leluasa belajar yang tidak sekedar transformasi ilmu namun juga nilai karakter dari pengajar, namun kelemahannya kita harus hadir secara fisik dan belum tentu di setiap daerah di Indonesia tersedia layanan Bimbel dengan kualitas yang baik.

Nah, bagaimana dengan peran sekolah disini? Apakah institusi pendidikan kita gagal atau kurang kompeten dalam mengedukasi peserta didiknya sehingga mereka harus mengambil langkah Bimbel di luar jam sekolah? Jawabannya “YA” dan “TIDAK JUGA”. Untuk Indonesia sendiri, penulis bisa menyampaikan lemahnya kompetensi guru di sekolah dalam memberikan pembelajaran dan pengajaran yang efektif dan optimal. Tidak jarang kita menemukan guru yang sekedar membaca atau bahkan memerintahkan untuk menulis tanpa memberikan keterangan yang komprehensif kepada peserta didik di kelas dengan metode dan model pembelajaran yang monoton cenderung membosankan. Jelas ini adalah persoalan yang tengah dihadapi Indonesia, diperparah dengan ekspektasi wali murid yang tinggi sehingga tidak ada pilihan lain bagi orang tua selain dengan memasukkan anaknya ke lembaga bimbel. Jika berbicara bimbel di negara maju seperti Amerika, Australia, Jepang dan lainnya, maka fungsi Bimbel akan jauh berbeda dengan lembaga bimbel yang ada di Indonesia karena mereka lebih fokus pada pengembangan hardskill dan softskill bukan mengulang atau membahas materi pelajaran di sekolah. Siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ini? Jawabnnya adalah kita semua.

Upaya apa saja yang perlu kita lakukan untuk perbaikan pelayanan pendidikan yang berkualitas? Pertama, pemerintah perlu memperbaiki sistem dan mekanisme pendidikan serta pembelajaran di lembaga pencetak guru atau pendidik dalam hal ini Perguruan Tinggi. Guru kita adalah produk Sistem Pendidikan yang terdapat di Perguruan Tinggi, tidak samanya standard kualitas sistem pendidikan menjadikan lulusannya beragam. Kedua, penguatan karakter pendidikan yang selama ini semakin merosot, karena tidak sedikit orang terdidik dan berpendidikan tidak memiliki jiwa pengabdian yang tinggi sehingga kurang sensitive terhadap kondisi pendidikan di sekitarnya. Jika semua dari kita memiliki kesadaran dan komitmen yang sama maka kita mampu mengawal perbaikan kualitas pendidikan Indonesia yang mampu mencetak generasi emas masa depan.

Dekandensi moral guru kita juga menjadi persoalan tersendiri dalam mendidik para murid di sekolah. Menurut UU no. 14 tahun 2005, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Dari pengertian ini kita tahu bahwa guru berperan besar dari awal sampai akhir pembelajaran demi tercapainya tujuan pembelajaran. Namun selain faktor guru, banyak faktor lain yang mempengaruhi hasil dari proses pembelajaran tersebut. Menurut Sofyatiningrum (2001:45) “Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa tidak lepas dari dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor internal dan eksternal”. Faktor internal seperti jasmaniah, psikologi, minat, motivasi dan cara belajar. Faktor eksternal seperti faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Sehingga kita semua perlu bersama menguatkan peran masing-masing dengan meningkatkan kompetensi diri untuk perbaikan pendidikan dan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

'Kitab' Sutasoma, Asal Muasal 'Bhinneka Tunggal Ika'

Kakawin Sutasoma - Indonesia Space Research Mungkin masih banyak di antara kita yang belum mengenal betul asal muasal Bhinneka Tunggal Ika, sebuah slogan yang fenomenal dan selalu menjadi rujukan serta pengingat kita untuk tetap bersatu dalam keberagaman bangsa ini. Dalam artikel kali ini, saya telah mengutip dari berbagai referensi yang mengupas tentang Asal Muasal Bhinneka Tunggal Ika. Enjoy Reading Everyone...! Indonesia punya semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang memiliki arti 'berbeda-beda tetapi tetap satu'. Semboyan itu menjadi moto bangsa Indonesia yang melambangkan persatuan di tengah keberagaman Indonesia. Sebenarnya frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan penciptanya pun bukan seorang pejuang kemerdekaan. 'Bhinneka Tunggal Ika' adalah sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno. Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu T...

CANDI JABUNG: PENINGGALAN RAJA HAYAM WURUK, RAJA MAJAPAHIT

RAJA Hayam Wuruk yang bergelar Sri Raja sanagara naik takhta kerajaan Majapahit di usia belia, yakni 16 tahun. Informasi yang di himpun dari berbagai sumber menyebutkan, Empu Prapanca dalam kitabnya Negarakertagama mengatakan wilayah Majapahit sangat luas. Pada masa Hayam Wuruk, kebudayaan dan kesusastraan berkembang pesat. Sejumlah candi sebagai tempat pemujaan atau peribadatan  di bangun. Misalnya, Candi Penataran, Candi  Tikus, Candi Sawentar, dan Candi Bujang Ratu. Termasuk Candi Jabung yang berada di wilayah Kabupaten Probolinggo. Dikisahkan, beberapa bulan setelah dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk berniat mengunjungi wilayah kekuasaannya di timur pulau Jawa. Niatan ini muncul setelah Hayam Wuruk mengadakan semedi. Di dalam semedinya itu ia melihat suatu daerah yang potensial untuk  di kembangkan. Daerah tersebut berada di timur ibu kota Majapahit. Diutarakanlah rencana ini kepada Patih Gajah  Mada. Patih yang terkenal dengan sumpah Palapanya itu...

MASYARAKAT 5.0 (SOCIETY 5.0)

Apa itu Masyarakat 5.0? Definisi: "Masyarakat yang berpusat pada manusia untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial dengan sistem yang sangat mengintegrasikan ruang dunia maya dan ruang fisik." Masyarakat 5.0 diusulkan dalam Rencana Dasar Sains dan Teknologi ke-5 sebagai masyarakat masa depan yang harus dicita-citakan oleh Jepang. Ini mengikuti masyarakat berburu (Masyarakat 1.0), masyarakat pertanian (Masyarakat 2.0), masyarakat industri (Masyarakat 3.0), dan masyarakat informasi (Masyarakat 4.0). Mencapai Masyarakat 5.0 Dalam masyarakat informasi (Masyarakat 4.0), berbagi pengetahuan dan informasi lintas bagian tidak cukup, dan kerja sama itu sulit. Karena ada batasan untuk apa yang dapat dilakukan orang, tugas menemukan informasi yang diperlukan dari meluapnya informasi dan menganalisanya adalah suatu beban, dan tenaga kerja serta ruang lingkup tindakan dibatasi karena usia dan berbagai tingkat kemampuan. Juga, karena...