Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Yuda yang sudah memposting tulisan ini di Facebook yang juga memperoleh dari sumber lain. Saya posting di blog ini selain sebagai koleksi juga yang tidak kalah penting adalah pengingat bagi kita semua agar tetap bekerja keras, disiplin, mandiri dan produktif tanpa harus bergantung penuh kepada pemerintah. Sebelum kehancuran itu menjadi keniscayaan.
SELAMAT MEMBACA...!
Memahami ekonomi suatu negara sebenarnya tidak susah-susah amat. Rumusnya sederhana. Mereka yang malas dan tidak produktif, meski terlahir kaya-raya, sekali waktu akan jatuh miskin.
Sebaliknya, mereka yang awalnya miskin, bisa menjadi kaya raya. Asalkan dengan kerja keras dan hidup produktif.
Saat berita jatuhnya ekonomi Venezuela disertai melambungnya harga-harga barang tayang di berbagai media, saya kebetulan sedang di Kota Surgut.
Tepatnya di Provinsi Khanty Mansi, Siberia bagian barat, tiga jam perjalanan dari Kota Moskow, Rusia.
Kota yang dulunya kaya minyak. Kini mulai meredup. Lampu-lampu kota mulai banyak yang mati. Taman-taman kota mulai ditumbuhi ilalang. Universitasnya pun hampir tutup. Sebab mahasiswanya hampir habis. Persis situasi di Venezuela.
Sama dengan Venezuela, Surgut pernah kaya-raya. Wilayah ini perna memproduksi 70 persen minyak Rusia. Sekitar tujuh juta barel per hari.
Sebelum hancur lebur ekonominya seperti sekarang, dulunya Venezuela juga adalah negara kaya. Industri minyak Venezuela terbesar ke-3 di dunia.
Soal produksi minyak, negara ini hanya kalah dari Amerika Serikat dan Uni Soviet (Rusia).
Perusahaan minyak Inggris British Petroleum pernah mengeluarkan rilis menarik. Venezuela memiliki cadangan minyak bumi sebesar 297 miliar barel. Sementara, Arab Saudi hanya punya 265 miliar barel. Bagaimana warganya tidak akan berpesta, minyak buminya begitu melimpah ruah.
Negara ini tak hanya kaya akan wanita-wanita cantik. Tapi, juga oleh sumber daya alam yang melimpah.
Merasa sangat kaya, negara ini memanjakan warganya dengan rupa-rupa subsidi. Ada warga sampai lupa, jenis subsidi apa saja yang dia terima dari negara.
Mirip anak orang kaya, warga Venezuela terus dimanjakan. Dibelikan barang-barang mewah berupa macam-macam subsidi oleh orang tuanya, yang bernama negara atau pemerintah. Pemerintah menyubsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara paripurna. Harga BBM di sana pernah mencapai US$ 1 sen per liter. Sekitar Rp 140 per liter. Lebih murah dari sebutir permen Relaxa. Bandingkan dgn harga bensin di Indonesia yg mencapai Rp 6.500 (premium) hingga Rp 8.900 (pertamax).
Tak hanya BBM, pemerintah Venezuela juga menyubsidi gas, kesehatan, perumahan, listrik, hingga makanan. Klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit dibangun dimana-mana. Gratis. Sebab, operasionalnya dibayar oleh negara.
Gara-gara subsidi ini, mantan Presidennya Hugo Chavez dan wakilnya Nicolas Maduro, si mantan supir truk, sukses memangkas angka kemiskinan.
Dari 60% menjadi 30%. Sebab itu, Chavez dipuja bak dewa.
• Produktifitas Rendah
Tapi disitulah malapetaka berawal. Ketika negara dan warganya ternina bobo dengan kekayaan. Kutuk sumber daya alam itu datang dengan sendirinya. Tanpa diundang. Bak anak orang kaya, warga Venezuela juga hidup dengan kemanjaan. Sekaligus dengan produktifitas yang sangat rendah. Merasa kaya, hidup warganya cuma berfoya-foya. Produktifitas pekerja Venezuela merupakan salah satu yang terendah sedunia.
Di periode 2014-2016, produk domestik bruto (PDB) Venezuela terkontraksi masing-masing sebesar 4%, 6%, dan 18% (IMF, April 2017).
Disaat produktifitas rendah, Inflasi melonjak. Mengutip The Economist, Kamis (8/2/2018), banyak ekonom dan bankir bilang, Venezuela tak lagi hanya inflasi. Tapi Venezuela sudah hiperinflasi.
Istilah ini menunjukkan harga konsumen naik setidaknya 50 persen dalam sebulan.
Celakanya lagi, disaat warganya “berpesta” menikmati subsidi, negara mengelola perusahaan negara atau BUMN secara ugal-ugalan pula.
Di Venezuela, BUMN merupakan pundi-pundi utama untuk menghasilkan anggaran negara yang akan disubsidikan ke rakyat. Sektor swasta mati kutu. Tak berdaya.
Kenapa? Sebab di zaman Chavez, semua perusahaan swasta dari usaha kecil sampai perusahaan kakap dicaplok oleh negara dan negara merasa cukup cakap untuk untuk berbisnis.
Guna memuluskan agenda sosialismenya. Perusahaan listrik, PAM, telepon, hotel, semen, makanan, peternakan, pertanian, perbankan, media, tambang, konstruksi, dan sebagainya sampai usaha kecil diambil oleh negara dan kemudian dikelola secara ugal-ugalan oleh pemerintah.
Parahnya lagi, BUMN-BUMN dipaksa wajib menyerap semua warga untuk menjadi karyawan.
Kata Chaves, kebijakan ini untuk mengatasi pengangguran, meski tanpa rekrutman yang profesional. Warga dalam sekejap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) semua. Mereka digaji besar plus mendapat macam-macam subsidi, demi menciptakan keadilan sosial ala sosialisme.
Celakanya lagi, sebab dikelola ugal-ugalan tadi diatas, BUMN minyak yang menjadi tumpuan pundi-pundi negara kemudian jatuh bangkrut. Padahal, sebanyak 95% pundi-pundi negara berasal dari laba ekspor minyak BUMN minyaknya.
Besar pasak daripada tiang. Begitulah Venezuela. Rakyatnya terus berfoya-foya dan berpesta. Sebab, mereka dimanja oleh subsidi dan gaji besar. Sementara, pemerintahnya gagal mengelola bisnis negara yang namanya BUMN. Anggaran negara terus membengkak, pemasukan semakin tipis.
Bahkan disaat harga minyak sedang naik pun, APBN-nya tetap defisit sampai 20 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 2 persenan.
Untuk menutup defisit, negara akhirnya ngutang. Sayangnya, utangnya tidak pakai untuk membiayai sektor-sektor produktif, seperti infrastruktur misalnya.
Utangnya malah dipakai untuk mensubsidi rakyatnya yang terbiasa berfoya-foya. Bagaimana tidak berfoya-foya, semua bisnis dan perusahaan sudah diambil pemerintah. Lagi pula negara begitu berbaik hati, dengan mengobral subsidi. Warga Venezuela bermasa bodoh saja. Sebab yang mereka urus bukan bisnis (perusahaan) sendiri. Tapi punya pemerintah.
Saat ini, Venezuela masuk dalam jajaran negara termiskin di dunia. Tahun ini, IMF memperkirakan inflasi di Venezuela akan mencapai satu juta persen.
Mata uang Bolivar Venezuela ambruk nilainya. Hampir tidak berharga.
Untuk membeli US$ 1 dibutuhkan 6,3 juta Bolivar. Setara dengan mata uang dolar Zimbabwe pada era Robert Mugabe. Demikian susahnya, untuk membeli roti saja, warganya mesti berbelanja ke negara tetangganya Bolivia. Sebagian warga Venezuela telah hijrah ke negara tetangganya untuk mencari penghidupan.
Dari kasus Venezuela, kita tak hanya belajar akan bahaya suatu sistem sosialisme yang teramat sempit dan ekstrim utk diterapkan. Namun juga pentingnya produktifitas baik bagi warganya maupun oleh negara. Negara menjadi kaya dan makmur tak tergantung lagi pada kekayaan sumber daya alamnya. Kemakmuran akan datang dengan sendirinya bila masyarakat dan negaranya produktif, meski ditengah miskinnya sumber daya alam.
Tengoklah Jepang, Singapura, Taiwan, Korea dan negara-negara Skandinavia.
Di Finlandia, negara ini warganya bekerja hanya sekitar tiga jam dalam sehari. Tetapi kenapa negara ini sangat makmur? Selain idiologi dan system ekonominya bagus, warganya hidup produktif dan memiliki etos kerja, serta memiliki tabiat hidup yang baik.
*Rizal Calvary Marimbo*
SELAMAT MEMBACA...!
Memahami ekonomi suatu negara sebenarnya tidak susah-susah amat. Rumusnya sederhana. Mereka yang malas dan tidak produktif, meski terlahir kaya-raya, sekali waktu akan jatuh miskin.
Sebaliknya, mereka yang awalnya miskin, bisa menjadi kaya raya. Asalkan dengan kerja keras dan hidup produktif.
Saat berita jatuhnya ekonomi Venezuela disertai melambungnya harga-harga barang tayang di berbagai media, saya kebetulan sedang di Kota Surgut.
Tepatnya di Provinsi Khanty Mansi, Siberia bagian barat, tiga jam perjalanan dari Kota Moskow, Rusia.
Kota yang dulunya kaya minyak. Kini mulai meredup. Lampu-lampu kota mulai banyak yang mati. Taman-taman kota mulai ditumbuhi ilalang. Universitasnya pun hampir tutup. Sebab mahasiswanya hampir habis. Persis situasi di Venezuela.
Sama dengan Venezuela, Surgut pernah kaya-raya. Wilayah ini perna memproduksi 70 persen minyak Rusia. Sekitar tujuh juta barel per hari.
Sebelum hancur lebur ekonominya seperti sekarang, dulunya Venezuela juga adalah negara kaya. Industri minyak Venezuela terbesar ke-3 di dunia.
Soal produksi minyak, negara ini hanya kalah dari Amerika Serikat dan Uni Soviet (Rusia).
Perusahaan minyak Inggris British Petroleum pernah mengeluarkan rilis menarik. Venezuela memiliki cadangan minyak bumi sebesar 297 miliar barel. Sementara, Arab Saudi hanya punya 265 miliar barel. Bagaimana warganya tidak akan berpesta, minyak buminya begitu melimpah ruah.
Negara ini tak hanya kaya akan wanita-wanita cantik. Tapi, juga oleh sumber daya alam yang melimpah.
Merasa sangat kaya, negara ini memanjakan warganya dengan rupa-rupa subsidi. Ada warga sampai lupa, jenis subsidi apa saja yang dia terima dari negara.
Mirip anak orang kaya, warga Venezuela terus dimanjakan. Dibelikan barang-barang mewah berupa macam-macam subsidi oleh orang tuanya, yang bernama negara atau pemerintah. Pemerintah menyubsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara paripurna. Harga BBM di sana pernah mencapai US$ 1 sen per liter. Sekitar Rp 140 per liter. Lebih murah dari sebutir permen Relaxa. Bandingkan dgn harga bensin di Indonesia yg mencapai Rp 6.500 (premium) hingga Rp 8.900 (pertamax).
Tak hanya BBM, pemerintah Venezuela juga menyubsidi gas, kesehatan, perumahan, listrik, hingga makanan. Klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit dibangun dimana-mana. Gratis. Sebab, operasionalnya dibayar oleh negara.
Gara-gara subsidi ini, mantan Presidennya Hugo Chavez dan wakilnya Nicolas Maduro, si mantan supir truk, sukses memangkas angka kemiskinan.
Dari 60% menjadi 30%. Sebab itu, Chavez dipuja bak dewa.
• Produktifitas Rendah
Tapi disitulah malapetaka berawal. Ketika negara dan warganya ternina bobo dengan kekayaan. Kutuk sumber daya alam itu datang dengan sendirinya. Tanpa diundang. Bak anak orang kaya, warga Venezuela juga hidup dengan kemanjaan. Sekaligus dengan produktifitas yang sangat rendah. Merasa kaya, hidup warganya cuma berfoya-foya. Produktifitas pekerja Venezuela merupakan salah satu yang terendah sedunia.
Di periode 2014-2016, produk domestik bruto (PDB) Venezuela terkontraksi masing-masing sebesar 4%, 6%, dan 18% (IMF, April 2017).
Disaat produktifitas rendah, Inflasi melonjak. Mengutip The Economist, Kamis (8/2/2018), banyak ekonom dan bankir bilang, Venezuela tak lagi hanya inflasi. Tapi Venezuela sudah hiperinflasi.
Istilah ini menunjukkan harga konsumen naik setidaknya 50 persen dalam sebulan.
Celakanya lagi, disaat warganya “berpesta” menikmati subsidi, negara mengelola perusahaan negara atau BUMN secara ugal-ugalan pula.
Di Venezuela, BUMN merupakan pundi-pundi utama untuk menghasilkan anggaran negara yang akan disubsidikan ke rakyat. Sektor swasta mati kutu. Tak berdaya.
Kenapa? Sebab di zaman Chavez, semua perusahaan swasta dari usaha kecil sampai perusahaan kakap dicaplok oleh negara dan negara merasa cukup cakap untuk untuk berbisnis.
Guna memuluskan agenda sosialismenya. Perusahaan listrik, PAM, telepon, hotel, semen, makanan, peternakan, pertanian, perbankan, media, tambang, konstruksi, dan sebagainya sampai usaha kecil diambil oleh negara dan kemudian dikelola secara ugal-ugalan oleh pemerintah.
Parahnya lagi, BUMN-BUMN dipaksa wajib menyerap semua warga untuk menjadi karyawan.
Kata Chaves, kebijakan ini untuk mengatasi pengangguran, meski tanpa rekrutman yang profesional. Warga dalam sekejap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) semua. Mereka digaji besar plus mendapat macam-macam subsidi, demi menciptakan keadilan sosial ala sosialisme.
Celakanya lagi, sebab dikelola ugal-ugalan tadi diatas, BUMN minyak yang menjadi tumpuan pundi-pundi negara kemudian jatuh bangkrut. Padahal, sebanyak 95% pundi-pundi negara berasal dari laba ekspor minyak BUMN minyaknya.
Besar pasak daripada tiang. Begitulah Venezuela. Rakyatnya terus berfoya-foya dan berpesta. Sebab, mereka dimanja oleh subsidi dan gaji besar. Sementara, pemerintahnya gagal mengelola bisnis negara yang namanya BUMN. Anggaran negara terus membengkak, pemasukan semakin tipis.
Bahkan disaat harga minyak sedang naik pun, APBN-nya tetap defisit sampai 20 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 2 persenan.
Untuk menutup defisit, negara akhirnya ngutang. Sayangnya, utangnya tidak pakai untuk membiayai sektor-sektor produktif, seperti infrastruktur misalnya.
Utangnya malah dipakai untuk mensubsidi rakyatnya yang terbiasa berfoya-foya. Bagaimana tidak berfoya-foya, semua bisnis dan perusahaan sudah diambil pemerintah. Lagi pula negara begitu berbaik hati, dengan mengobral subsidi. Warga Venezuela bermasa bodoh saja. Sebab yang mereka urus bukan bisnis (perusahaan) sendiri. Tapi punya pemerintah.
Saat ini, Venezuela masuk dalam jajaran negara termiskin di dunia. Tahun ini, IMF memperkirakan inflasi di Venezuela akan mencapai satu juta persen.
Mata uang Bolivar Venezuela ambruk nilainya. Hampir tidak berharga.
Untuk membeli US$ 1 dibutuhkan 6,3 juta Bolivar. Setara dengan mata uang dolar Zimbabwe pada era Robert Mugabe. Demikian susahnya, untuk membeli roti saja, warganya mesti berbelanja ke negara tetangganya Bolivia. Sebagian warga Venezuela telah hijrah ke negara tetangganya untuk mencari penghidupan.
Dari kasus Venezuela, kita tak hanya belajar akan bahaya suatu sistem sosialisme yang teramat sempit dan ekstrim utk diterapkan. Namun juga pentingnya produktifitas baik bagi warganya maupun oleh negara. Negara menjadi kaya dan makmur tak tergantung lagi pada kekayaan sumber daya alamnya. Kemakmuran akan datang dengan sendirinya bila masyarakat dan negaranya produktif, meski ditengah miskinnya sumber daya alam.
Tengoklah Jepang, Singapura, Taiwan, Korea dan negara-negara Skandinavia.
Di Finlandia, negara ini warganya bekerja hanya sekitar tiga jam dalam sehari. Tetapi kenapa negara ini sangat makmur? Selain idiologi dan system ekonominya bagus, warganya hidup produktif dan memiliki etos kerja, serta memiliki tabiat hidup yang baik.
*Rizal Calvary Marimbo*
Komentar
Posting Komentar