Kamis, 04 Oktober 2018

'Kitab' Sutasoma, Asal Muasal 'Bhinneka Tunggal Ika'

Kakawin Sutasoma - Indonesia Space Research

Mungkin masih banyak di antara kita yang belum mengenal betul asal muasal Bhinneka Tunggal Ika, sebuah slogan yang fenomenal dan selalu menjadi rujukan serta pengingat kita untuk tetap bersatu dalam keberagaman bangsa ini. Dalam artikel kali ini, saya telah mengutip dari berbagai referensi yang mengupas tentang Asal Muasal Bhinneka Tunggal Ika. Enjoy Reading Everyone...!

Indonesia punya semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang memiliki arti 'berbeda-beda tetapi tetap satu'. Semboyan itu menjadi moto bangsa Indonesia yang melambangkan persatuan di tengah keberagaman Indonesia.

Sebenarnya frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' telah tercipta jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan penciptanya pun bukan seorang pejuang kemerdekaan.

'Bhinneka Tunggal Ika' adalah sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno.

Kakawin Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular yang dituliskan menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali. Diketahui, Kakawin Sutasoma dikarang pada abad ke-14.

Dalam sebuah teks yang tercantum di Kakawin Sutasoma, dikatakan Buddha dan Siwa berbeda, tetapi dapat dikenali, sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda tetapi tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.

Kutipan frase Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam petikan pupuh 139 bait 5 pada Kakawin Sutasoma, yang petikannya sebagai berikut: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”.

Artinya adalah “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Hiasan emas dari masa Majapahit yang menggambarkan Sutasoma digendong Kalmasapada

 Bila diterjemahkan tiap kata, Bhinneka punya arti 'beraneka ragam'. Kata tunggal berarti 'satu' dan ika berarti 'itu'. Sehingga, bila mengacu berdasarkan arti secara harfiahnya, 'Bhinneka Tunggal Ika' memiliki arti 'beraneka ragam itu satu'.


Kakawin Sutasoma yang dipamerkan telah dituliskan kembali di atas daun lontar berukuran 40,5 X 3,5 cm pada tahun 1851 dengan isi 182 halaman dan tiap halamannya ditulis dalam 4 baris. Namun, tak diketahui siapa yang menuliskan ulang Kakawin Sutasoma tersebut, karena tidak ada petugas yang bisa ditanya perihal informasi lengkap kakawin tersebut.

Thanks for visiting...:D

Sumber:
1. https://news.detik.com/berita/d-3519151/melihat-kitab-sutasoma-asal-muasal-bhinneka-tunggal-ika

2. http://lifestyle.bisnis.com/read/20170605/230/659442/kitab-inspirasi-bhinneka-tunggal-ika-karya-mpu-tantular-dipamerkan-di-museum-nasional


Asal Muasal Suku Tengger: Permata Sejarah Tanah Majapahit



Siapa yang tidak kenal dengan Suku Tengger? Kalau kita mulai mendengar Suku Tengger pastinya tidak pernah lepas dari eksotika Gunung Bromo. Gunung Bromo merupakan sebuah tempat wisata yang ikonik yang terletak di atas bumi tiga wilayah administrative yaitu Kabupaten Probolinggo, Malang dan Lumajang. Gunung aktif dengan tinggi 2.392 meter, dikelilingi oleh hamparan pasir, serta pemandangan matahari terbit yang spektakular membuat Gunung Bromo memiliki daya tarik tersendiri bagi sejumlah wisatawan lokal maupun mancanegara. Jadi tidak salah apabila Gunung Bromo menjadi destinasi wisata unggulan yang dimiliki oleh Indonesia.
Namun tidak lengkap rasanya apabila membahas Gunung Bromo tanpa mengenal penduduk asli yang hidup di sekitarnya, Suku Tengger. Berbeda dengan penduduk di Jawa Timur kebanyakan, Suku Tengger memiliki kepercayaan, bahasa, serta kebudayaan yang unik dan kontras. Tradisi yang berkembang di kalangan Suku Tengger berkaitan erat dengan Gunung Bromo. Bisa dikatakan, antara Gunung Bromo dengan Suku Tengger memiliki sebuah ikatan mistis yang saling menghidupi satu sama lain.
Asal-Usul Hingga Legenda Roro Anteng dan Joko Seger


Terdapat beberapa pandangan yang menjelaskan tentang asal-usul dari nama “Tengger”. Pendapat pertama mengatakan bahwa istilah “Tengger” berarti pegunungan yang notabene menjadi tempat tinggal mereka. Pandangan berikutnya menyatakan bahwa istilah “Tengger” berasal dari kalimat Tenggering Budi Luhur yang berarti budi pekerti yang luhur, menggambarkan watak Suku Tengger yang seharusnya. Hingga pandangan terakhir mengatakan bahwa nama “Tengger” merupakan kata gabungan dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, nama leluhur Suku Tengger.
Di dalam bukunya yang berjudul Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, Robert W. Hefner menjelaskan bahwa orang-orang Suku Tengger merupakan keturunan dari para pengungsi Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-16, Kerajaan Majapahit yang mulai melemah mengalami serangan dari kerajaan Islam yang dipimpin oleh Raden Patah. Menyelamatkan diri dari invasi, sebagian masyarakat Majapahit mengungsi menuju Pulau Bali. Sebagian lainnya memilih untuk menempati sebuah kawasan pegunungan di Jawa Timur, mengisolasi diri dari pengaruh luar. Orang-orang inilah yang kelak dinamakan sebagai Suku Tengger.

Di kalangan Suku Tengger sendiri, berkembang sebuah legenda yang menceritakan tentang sejarah leluhur mereka. Tersebutlah Roro Anteng, putri pembesar Kerajaan Majapahit, dan Joko Seger yang merupakan putra dari seorang brahmana. Roro Anteng dan Joko Seger kemudian menikah dan mereka turut menjadi pengungsi di Pegunungan Tengger. Di sanalah kemudian mereka menjadi pemimpin dengan gelar Purbawisesa Mangkurat Ing Tengger. Keturunan dari Roro Anteng dan Joko Seger inilah yang kelak menjadi Suku Tengger di Jawa Timur.
Kondisi Sosial Suku Tengger yang Unik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para leluhur Suku Tengger mengungsi dan terisolasi di Pegunungan Tengger. Kondisi mereka yang tidak tersentuh oleh peradaban luar selama bertahun-tahun itulah yang kemudian berdampak pada kondisi sosial Suku Tengger.
Berbeda dengan peradaban Jawa lainnya yang telah didominasi oleh ajaran Islam, Suku Tengger masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit. Para leluhur Suku Tengger menganut aliran kepercayaan Siwa-Budha yang kemudian berkembang menjadi agama Hindu seperti yang dipegang oleh Suku Tengger kini.
Soal bahasa pun juga demikian. Suku Tengger memiliki dialek yang berbeda dengan Bahasa Jawa yang berkembang di era modern. Mereka masih menggunakan dialek Bahasa Kawi dan terdapat beberapa kosakata Jawa Kuno yang sudah tidak lagi digunakan oleh penutur Bahasa Jawa lainnya. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang Suku Jawa mengalami kesulitan dalam memahami Bahasa Tengger.
Tidak hanya itu, Suku Tengger juga memiliki sistem penanggalan tersendiri di samping penanggalan Masehi. Mereka menggunakan sistem penanggalan Tahun Saka yang mengadopsi dari sistem penanggalan Hindu. Karena itulah, sistem penanggalan Suku Tengger mirip dengan penanggalan tradisional Jawa maupun Bali. Dalam satu tahun, terdapat dua belas bulan. Nama-nama bulan tersebut antara lain Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kasadasa, Dhesta, dan Kasadha. Dalam satu bulan terdapat tiga puluh hari. Sistem penanggalan inilah yang berguna untuk menentukan pelaksanaan upacara-upacara adat Suku Tengger.

Upacara Yadnya Kasada

Selain unik, Suku Tengger juga dikenal kaya akan tradisi dan serangkaian upacara-upacara adat. Salah satu upacara yang terkenal adalah Yadnya Kasada. Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 14 bulan Kasadha. Di dalam upacara Yadnya Kasada, masyarakat Suku Tengger berdoa kepada Tuhan serta menyerahkan kurban berupa hewan ternak dan hasil tani seperti sayuran dan buah-buahan menuju kawah Gunung Bromo. Upacara tersebut bertujuan untuk memohon keselamatan dan berkah. Selain itu, Yadnya Kasada juga menjadi ajang peringatan bagi Suku Tengger untuk mengenang pengorbanan Raden Kusuma, putra bungsu Roro Anteng dan Joko Seger.


Menurut legenda setempat, Roro Anteng dan Joko Seger bertapa di Gunung Bromo memohon keturunan kepada Tuhan. Mereka juga berjanji akan mengorbankan anak bungsunya ke Gunung Bromo jika mereka dikaruniai keturunan. Doa mereka akhirnya dikabulkan dan mereka memiliki 25 anak. Namun Raden Kusuma sebagai putra bungsu tak kunjung dikorbankan. Hal inilah yang membuat Gunung Bromo murka hingga kerelaan Raden Kusuma untuk mengorbankan diri mampu meredakan amarah Gunung Bromo.
Kini, Yadnya Kasada menjadi upacara adat Suku Tengger yang mampu menarik minat para wisatawan. Momen tersebut berkontribusi pada banyaknya jumlah wisatawan yang mengunjungi Gunung Bromo. Berdasarkan data yang dilansir oleh BBC Indonesia, terdapat sebanyak 380.000 wisatawan lokal dan 37.000 wisatawan mancanegara mengunjungi Bromo pada tahun 2015. Tidak hanya menawarkan pemandangan yang indah, wisata di Gunung Bromo juga dihidupkan oleh tradisi dan keunikan Suku Tengger yang masih lestari hingga kini.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
Sumber gambar utama: Ulet Ifansasti - Getty Images (via Time.com) - Times Indonesia