Rabu, 12 September 2018

(Review) Mile 22: Laga Panas dengan Plot Loyo namun Tetap Misterius


Pertamakali nonton Trailer Mile 22 di youtube, saya langsung excited untuk segera nonton di bioskop dan ini tidak hanya terjadi pada saya namun terjadi pada kebanyakan orang Indonesia lainnya karena keterlibatan aktor Indonesia dalam film Hollywood. Memang, bukan yang pertama kali aktor Indonesia terlibat dalam proyek Hollywood. Namun, film Mile 22 ini merupakan yang pertama kali menempatkan aktor Indonesia dalam leading role keduanya setelah Mark Wahlberg.

Awalnya saya hunting ticket nonton Mile 22 di Surabaya. Ternyata ticketnya full-booked hanya tersisa di Grand City Surabaya dan di posisi tempat duduk yang kurang strategis alias di raw depan, sedikit kecewa, tapi karena sudah kebelet nonton dan penasaran sama filmnya akhirnya dibeli juga itu tiket sisa. Nah kawan, kalau begitu sekarang kita fokus sama cerita di filmnya ya.

Dok. STX Films

Ketika nonton pertamakali yang disuguhkan adalah alur maju mundur (bingung sih hehehe). Cerita yang ditampilkan seakan menyimpan kemisteriusan sepanjang film. Kalian pasti dibikin penasaran dengan alur yang disajikan. Tidak menutup kemungkinan kalian menebak-nebak dengan persepsi sendiri apa sebenarnya yang terjadi di Film tersebut dan semakin penasaran dimana letak klimas dari film ini.

Menurut saya ini ide cerdas sutradara Peter Berg bikin alur cerita unik yang di luar kebiasaan walapun terkesan loyo karena banyak plot yang ngambang, jadi terasa membosankan karena kelamaan bingung (hahaha) namun tetap apresiasi karya yang membanggakan ini.

Jadi, film ini bercerita soal sebuah unit taktis elit yang disebut Overwatch. Tim beranggotakan 7 orang ini dipimpin sama James Silva (Mark Wahlberg) dan Alice Kerr (Lauren Cohan). Unit ini beroperasi dengan mengabaikan hukum, supaya bisa menjaga Amerika dari ancaman. Mereka punya misi terbaru untuk mengangkut pencari suaka yang juga aset intelijen asing dengan informasi penting bernama Li Noor (Iko Uwais).

Misi pasukan Overwatch diawali di sebuah rumah. Rumah itu nampaknya diisi sama para teroris asal Rusia. Pasukan Overwatch kemudian menyerang rumah itu beserta isinya. Mereka menyandera para "teroris" dan berusaha mengambil data serta benda yang disimpan dalam brankas. Sampai pada akhirnya terjadi baku tembak dan pengeboman rumah tersebut untuk menghilangkan jejak. Dan disana juga terlihat bahwa Mark Wehlberg yang berperan sebagai Silva membunuh seorang anak muda Rusia. Sebelum peluru itu ditembakkan ke arah anak muda Rusia tersebut, dia mengancam bahwa Silva akan menyesal karena membunuhnya.

Sejak kejadian itu 16 bulan kemudian, diceritakan tim Overwatch lagi ada di Indocarr, sebuah negara di Asia Tenggara. Di sana mereka sedang melakukan misi untuk mengambil sebuah bahan peledak super berbahaya yang hilang, yang mereka sebut "fear powder".

Dok. STX Films

Misi terbaru mereka, adalah untuk mengawal seorang informan kunci dalam sebuah misi penting. Mereka harus mengantar Li Noor (Iko Uwais) ke bandara dalam jarak tempuh 22 mil dalam kurun waktu 90 menit dari kedutaan Amerika ke pesawat militer yang sudah menunggu.

Meskipun plot yang loyo dan membingungkan tidak berarti buruk, hanya saja terlihat biasa. Bisa jadi karena dari awal cerita belum sukses menawarkan aspek kisah yang menarik. Sepertinya, Peter Berg seakan memfokuskan pada sosok aktor Indonesianya, Iko Uwais.

Yang buat saya bangga adalah, dalam film Mile 22 terdapat penggunaan bahasa Indonesia di beberapa adegan. Soalnya, jarang sekali ada film Hollywood menggunakan bahasa Indonesia dengan porsi yang cukup banyak. Thanks Sir Peter Berg.

Dok. STX Films

Film ini tergolong tidak biasa memang, sayangnya, hal itu seakan terasa ganjil. Soalnya, film Mile 22 diceritakan berlatar di Asia Selatan dengan sebagian besar cameo-nya berwajah ras Mongolid, tapi bukan wajah Indonesia. Ganjilnya ketika terdapat backsound dari pasukan polisi yang berbahasa Indonesia. Sedangkan, wajah para polisinya bukan wajah Indonesia dan bukan berada di Asia Selatan (PHP nih).

Selain itu, adegan aksi yang disodorkan juga kurang memuaskan. Kebanyakan didominasi sama adegan tembak menembak dan lempar-lemparan bom. Jadi ya, kebanyakan hanya suara ledakan saja.
Sensasi pertarungan intens yang luar biasa menegangkan belum terlihat kongkrit. Bahkan Mark Wahlberg hampir tidak pernah adu jotos secara fisik. Padahal Mark sebenernya bagus buat adegan pertarungan jarak dekat, tapi sayangnya dia hanya dikasih peran sebagai seorang penembak jitu.

Adegan pertarungan yang sedikit menghibur malah datang dari sosok Lauren Cohan. Di sini Lauren memiliki satu scene yang cukup menghibur karena adegan pertarungannya cukup intens. Selain Lauren Cohan yang menyodorkan adegan adu jotos ya siapa lagi kalau bukan  Iko Uwais

Nilai Positifnya adalah, hal itu mendongkrak Indonesia menjadi lebih dikenal dunia. Begitu juga dengan keberadaan Iko Uwais yang sekaligus mengenalkan seni bela diri pencak silat ke dunia. Namun di sisi lain, penggunaan Bahasa Indonesia di film ini seakan kurang cocok. Soalnya, tidak sesuai latar dan deskripsi filmnya.



IKO UWAIS YANG MEMUKAU

Dok. STXFilms

Untungnya, di sela-sela plot yang loyo dan adegan aksi yang kurang memuaskan, muncul Iko Uwais yang berhasil memukau penonton. Aksi Iko bertarung dengan gaya khas pencak silat, berhasil bikin adegan aksi di film ini jadi berkali lipat lebih baik.

Iko Uwais sudah dikenal sebagai aktor martial art Indonesia yang tengah go international. Hal yang jadi inspirasi para aktor-aktris Indonesia untuk memperbaiki kualitas akting. Apalagi, Iko jadi leading role kedua sebagai agen mata-mata bernama Li Noor. Dia berhasil menampilkan aksi secara maksimal.

Iko lagi-lagi ngasih penonton penampilan bertarung ala Iko yang mamuaskan. Walaupun hanya ada 2 scene dimana Iko bertarung, tapi 2 scene itu worth it banget. Keren Abis guys!

Di sela-sela adegan aksi yang didominasi cuman sama tembakan senapan dan ledakan bom, Iko berhasil ngasih kesegaran dengan adegan baku hantam fisik yang berdarah-darah. Sesuatu yang emang kita cari banget di genre action thriller sebenernya.

Yang sangat membanggakan lagi guys, Iko juga jadi koreografer buat adegan-adegan aksi yang ada dalam film ini loh. Membanggakan kan? Memang adegan aksi Iko di sini tidak sebrutal di The Raid. Jadi adegannya masih cukup aman buat kalian yang tidak kuat sama adegan gore. 

Film ini juga dibintangi oleh Mark Wahlberg sebagai James Silva. Boleh diakui, meski Wahlberg jadi pemeran utama, aksinya boleh diadu dengan Iko. Yap, kalian bakal bisa nilai kalau Iko lebih menarik perhatian dibandingkan Wahlberg.

Selain itu, ada Lauren Cohan sebagai Alice Kerr dan Ronda Rousey sebagai Sam Snow. Keduanya berhasil mencitrakan diri sebagai agen cewek yang badass. Enggak hanya punya tampang penuh pesona, aksinya di film Mile 22 bikin kalian salah fokus. Ditambah, ada Lee Chae-rin alias CL, mantan personel girl band 2NE1. Maknyuuss pokoknya!

Dok. STX Films

Visual yang ditampilkan layaknya film-film agen rahasia lainnya. Kurang terlihat efek visual yang bombastis. Meski begitu, masih ada beberapa adegan dengan efek yang bikin kalian berkata “Wow”. Sedangkan efek suara juga tidak ada yang terasa spesial. Namun, bukan berarti tidak bagus. Sebenarnya, daya tarik utama film Mile 22 adalah keberadaan Iko Uwais. Yes It is true.

Kabarnya, film ini bakal dibikin trilogi. Karena di akhir Film semua Tim Overwatch banyak yang gugur kecuali Silva alias Mark Wehlberg, di adegan tersebut Silva merasa dibodohi dan tertipu oleh Li Noor alias Iko Uwais, sepertinya akan ada pembalasan dari Silva kepada Li Noor atau sebaliknya mereka bisa jadi menjadi satu tim. Entahlah! Jadinya, buat kalian penggemar film laga, mata-mata, pasukan khusus, dan penggemar Iko, kalian harus nonton film ini.


x

Rabu, 05 September 2018

VIRUS VENEZUELA: HARUSKAH BANGSA INDONESIA MENGALAMI HAL SERUPA?

Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Yuda yang sudah memposting tulisan ini di Facebook yang juga memperoleh dari sumber lain. Saya posting di blog ini selain sebagai koleksi juga yang tidak kalah penting adalah pengingat bagi kita semua agar tetap bekerja keras, disiplin, mandiri dan produktif tanpa harus bergantung penuh kepada pemerintah. Sebelum kehancuran itu menjadi keniscayaan.

SELAMAT MEMBACA...!

Memahami ekonomi suatu negara sebenarnya tidak susah-susah amat. Rumusnya sederhana. Mereka yang malas dan tidak produktif, meski terlahir kaya-raya, sekali waktu akan jatuh miskin.
Sebaliknya, mereka yang awalnya miskin, bisa menjadi kaya raya. Asalkan dengan kerja keras dan hidup produktif.

Saat berita jatuhnya ekonomi Venezuela disertai melambungnya harga-harga barang tayang di berbagai media, saya kebetulan sedang di Kota Surgut.
Tepatnya di Provinsi Khanty Mansi, Siberia bagian barat, tiga jam perjalanan dari Kota Moskow, Rusia.
Kota yang dulunya kaya minyak. Kini mulai meredup. Lampu-lampu kota mulai banyak yang mati. Taman-taman kota mulai ditumbuhi ilalang. Universitasnya pun hampir tutup. Sebab mahasiswanya hampir habis. Persis situasi di Venezuela.

Sama dengan Venezuela, Surgut pernah kaya-raya. Wilayah ini perna memproduksi 70 persen minyak Rusia. Sekitar tujuh juta barel per hari.
Sebelum hancur lebur ekonominya seperti sekarang, dulunya Venezuela juga adalah negara kaya. Industri minyak Venezuela terbesar ke-3 di dunia.
Soal produksi minyak, negara ini hanya kalah dari Amerika Serikat dan Uni Soviet (Rusia).

Perusahaan minyak Inggris British Petroleum pernah mengeluarkan rilis menarik. Venezuela memiliki cadangan minyak bumi sebesar 297 miliar barel. Sementara, Arab Saudi hanya punya 265 miliar barel. Bagaimana warganya tidak akan berpesta, minyak buminya begitu melimpah ruah.
Negara ini tak hanya kaya akan wanita-wanita cantik. Tapi, juga oleh sumber daya alam yang melimpah.

Merasa sangat kaya, negara ini memanjakan warganya dengan rupa-rupa subsidi. Ada warga sampai lupa, jenis subsidi apa saja yang dia terima dari negara.
Mirip anak orang kaya, warga Venezuela terus dimanjakan. Dibelikan barang-barang mewah berupa macam-macam subsidi oleh orang tuanya, yang bernama negara atau pemerintah. Pemerintah menyubsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara paripurna. Harga BBM di sana pernah mencapai US$ 1 sen per liter. Sekitar Rp 140 per liter. Lebih murah dari sebutir permen Relaxa. Bandingkan dgn harga bensin di Indonesia yg mencapai Rp 6.500 (premium) hingga Rp 8.900 (pertamax).

Tak hanya BBM, pemerintah Venezuela juga menyubsidi gas, kesehatan, perumahan, listrik, hingga makanan. Klinik-klinik kesehatan dan rumah sakit dibangun dimana-mana. Gratis. Sebab, operasionalnya dibayar oleh negara.
Gara-gara subsidi ini, mantan Presidennya Hugo Chavez dan wakilnya Nicolas Maduro, si mantan supir truk, sukses memangkas angka kemiskinan.
Dari 60% menjadi 30%.  Sebab itu, Chavez dipuja bak dewa.

• Produktifitas Rendah

Tapi disitulah malapetaka berawal. Ketika negara dan warganya ternina bobo dengan kekayaan. Kutuk sumber daya alam itu datang dengan sendirinya. Tanpa diundang. Bak anak orang kaya, warga Venezuela juga hidup dengan kemanjaan. Sekaligus dengan produktifitas yang sangat rendah. Merasa kaya, hidup warganya cuma berfoya-foya. Produktifitas pekerja Venezuela merupakan salah satu yang terendah sedunia.
Di periode 2014-2016, produk domestik bruto (PDB) Venezuela terkontraksi masing-masing sebesar 4%, 6%, dan 18% (IMF, April 2017).

Disaat produktifitas rendah, Inflasi melonjak. Mengutip The Economist, Kamis (8/2/2018), banyak ekonom dan bankir bilang, Venezuela tak lagi hanya inflasi. Tapi Venezuela sudah hiperinflasi.
Istilah ini menunjukkan harga konsumen naik setidaknya 50 persen dalam sebulan.

Celakanya lagi, disaat warganya “berpesta” menikmati subsidi, negara mengelola perusahaan negara atau BUMN secara ugal-ugalan pula.
Di Venezuela, BUMN merupakan pundi-pundi utama untuk menghasilkan anggaran negara yang akan disubsidikan ke rakyat. Sektor swasta mati kutu. Tak berdaya.

Kenapa? Sebab di zaman Chavez, semua perusahaan swasta dari usaha kecil sampai perusahaan kakap dicaplok oleh negara dan negara merasa cukup cakap untuk untuk berbisnis.
Guna memuluskan agenda sosialismenya. Perusahaan listrik, PAM, telepon, hotel, semen, makanan, peternakan, pertanian, perbankan, media, tambang, konstruksi, dan sebagainya sampai usaha kecil diambil oleh negara dan kemudian dikelola secara ugal-ugalan oleh pemerintah.

Parahnya lagi, BUMN-BUMN dipaksa wajib menyerap semua warga untuk menjadi karyawan.
Kata Chaves, kebijakan ini untuk mengatasi pengangguran, meski tanpa rekrutman yang profesional. Warga dalam sekejap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) semua. Mereka digaji besar plus mendapat macam-macam subsidi, demi menciptakan keadilan sosial ala sosialisme.

Celakanya lagi, sebab dikelola ugal-ugalan tadi diatas, BUMN minyak yang menjadi tumpuan pundi-pundi negara kemudian jatuh bangkrut. Padahal, sebanyak 95% pundi-pundi negara berasal dari laba ekspor minyak BUMN minyaknya.

Besar pasak daripada tiang. Begitulah Venezuela. Rakyatnya terus berfoya-foya dan berpesta. Sebab, mereka dimanja oleh subsidi dan gaji besar. Sementara, pemerintahnya gagal mengelola bisnis negara yang namanya BUMN. Anggaran negara terus membengkak, pemasukan semakin tipis.
Bahkan disaat harga minyak sedang naik pun, APBN-nya tetap defisit sampai 20 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 2 persenan.

Untuk menutup defisit, negara akhirnya ngutang. Sayangnya, utangnya tidak pakai untuk membiayai sektor-sektor produktif, seperti infrastruktur misalnya.
Utangnya malah dipakai untuk mensubsidi rakyatnya yang terbiasa berfoya-foya. Bagaimana tidak berfoya-foya, semua bisnis dan perusahaan sudah diambil pemerintah. Lagi pula negara begitu berbaik hati, dengan mengobral subsidi. Warga Venezuela bermasa bodoh saja. Sebab yang mereka urus bukan bisnis (perusahaan) sendiri. Tapi punya pemerintah.

Saat ini, Venezuela masuk dalam jajaran negara termiskin di dunia. Tahun ini, IMF memperkirakan inflasi di Venezuela akan mencapai satu juta persen.
Mata uang Bolivar Venezuela ambruk nilainya. Hampir tidak berharga.
Untuk membeli US$ 1 dibutuhkan 6,3 juta Bolivar. Setara dengan mata uang dolar Zimbabwe pada era Robert Mugabe. Demikian susahnya, untuk membeli roti saja, warganya mesti berbelanja ke negara tetangganya Bolivia. Sebagian warga Venezuela telah hijrah ke negara tetangganya untuk mencari penghidupan.

Dari kasus Venezuela, kita tak hanya belajar akan bahaya suatu sistem sosialisme yang teramat sempit dan ekstrim utk diterapkan. Namun juga pentingnya produktifitas baik bagi warganya maupun oleh negara. Negara menjadi kaya dan makmur tak tergantung lagi pada kekayaan sumber daya alamnya. Kemakmuran akan datang dengan sendirinya bila masyarakat dan negaranya produktif, meski ditengah miskinnya sumber daya alam.

Tengoklah Jepang, Singapura, Taiwan, Korea dan negara-negara Skandinavia.
Di Finlandia, negara ini warganya bekerja hanya sekitar tiga jam dalam sehari. Tetapi kenapa negara ini sangat makmur? Selain idiologi dan system ekonominya bagus, warganya hidup produktif dan memiliki etos kerja, serta memiliki tabiat hidup yang baik.

*Rizal Calvary Marimbo*